Saat ini kita masih berada di bulan Syawal dalam penanggalan kalender hijriah, dan ketika menilik kembali kisah lampau sepertinya memang ada hubungan yang unik antara bulan Syawal dengan harga emas.
Alkisah ketika memasuki tanggal 1 Dzulqadah, orang Arab Hijaz akan berkumpul di pasar Ukaz yang terletak antara Thaif dan Mekah. Para pedagang akan berkumpul disitu selama 20 hari untuk berdagang permadani, peralatan rumah tangga, perhiasan, minyak wangi, dan rempah-rempah.
Satu bulan sebelumnya yaitu pada bulan Syawal, konon katanya adalah wajar bila harga emas melonjak. Karena sebulan sebelumnya, di bulan Ramadhan, banyak orang yang menjual emasnya untuk menutupi kebutuhan menyambut hari raya Idul Fitri pada tanggal 1 Syawal.
Sedangkan pada bulan Syawal, para pedagang yang sukses meraup keuntungan di bulan Ramadhan akan mengamankan labanya dalam bentuk simpanan emas. Jadilah permintaan akan emas meningkat sehingga harganya pun melonjak secara alamiah.
Entah sebab yang sama juga terjadi pada tahun 2019 ini, karena berdasarkan berita di media elektronik dikabarkan bahwa harga emas sempat menembus angka 700 ribu per gram. Melonjak tajam dari sebelumnya hanya bergerak pada kisaran angka 650 ribuan.
Emas itu sendiri pada masyarakat Arab kuno merupakan bagian dari alat transaksi, koin dinar yang bagi sebagian masyarakat Muslim  dianggap sebagai warisan budaya Islam sebenarnya berasal dari Kekaisaran Romawi Timur.
Jauh sebelum abad kelima Masehi, Romawi telah menguasai perdagangan penduduk di wilayah Turki, Libanon, Palestina, Suriah, Yordania dan Mesir saat ini. Penguasa Romawi mencetak koin dinar dan mengedarkannya di seantero wilayah kekuasaannya itu.
Sedangkan koin dirham merupakan alat transaksi yang diprakarsai oleh rival Romawi yaitu Kekaisaran Persia. Sebelum dimerdekakan oleh pasukan Muslim, wilayah Irak, Bahrain, dan Kuwait adalah dibawah kekuasaan Persia. Dari tempat itu pula bangsa Arab mengenal koin dirham dalam perdagangannya.
Perbedaan antara dinar dan dirham ada pada bahan bakunya, jika dinar merupakan koin emas maka dirham adalah koin perak. Kedua logam mulia itu menjadi mata uang yang berlaku pada bangsa Arab kuno.
Sebelumnya telah disinggung bahwa salah satu komoditi yang diperdagangkan di pasar Ukaz itu adalah rempah-rempah. Bangsa Arab membeli rempah-rempah ini dari pedagang India, sedangkan asal muasal rempah-rempah India ini sebagiannya juga didatangkan dari Asia Tenggara. Wilayah yang saat itu dikenal sebagai India Kecil atau 'negeri dibawah angin'.
Orang India ternyata mengadopsi penggunaan koin perak sebagai mata uang, kontan saja pengaruhnya dirasakan juga oleh masyarakat kuno yang hidup di Indonesia. Sebut saja orang Aceh dan Melayu Sumatera, kedua suku bangsa ini sudah terbiasa mengutarakan harga dengan mengimbuhi kata 'perak' di ujung kalimat. Misalnya ada komoditi yang dijual seharga seribu rupiah, dalam bahasa percakapan biasa disebut seribu 'perak'.