Sebagai bagian dari negara dengan populasi umat muslim terbesar di dunia sudah sepantasnya bila masyarakat Indonesia menghiasi ruang sosial budayanya dengan norma serta nilai yang berasal dari ajaran Islam.Â
Diantara sikap yang dipandang buruk dalam ajaran Islam adalah sikap fanatisme golongan sebagaimana yang dipraktekkan masyarakat Arab jahiliah kuno.
Bagi yang mempelajari sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw. akan sepakat dengan satu kesimpulan yaitu Beliau saw. telah menyempurnakan keberhasilannya dalam menghapus fanatisme kesukuan dan menegakkan keadilan. Hal yang juga kemudian mengantarkan bangsa Arab menjadi salah satu pilar dari pilar-pilar peradaban dunia.Â
Pengakuan ini bukan saja dari sejarawan yang mengikuti petunjuk Beliau saw., semoga selawat dan salam tercurahkan pada keluarga dan sahabatnya, namun juga diakui oleh mereka yang tak mau mengikat diri dengan ajaran Islam yang dibawanya.
Konon penulis buku "The 100, A Ranking Of The Most Influential Persons In History", Michael H. Hart, telah memberikan pengakuan akan keberhasilan Muhammad saw. sebagai satu-satunya orang yang sukses baik pada tataran sekular maupun agama. Sosok Muhammad saw. digambarkan dalam buku tersebut sebagai seorang pemikir yang juga seorang orator, prajurit, ahli hukum, penakluk ide, pengembali dogma-dogma rasional dari sebuah ajaran tanpa pengidolaan, pendiri puluhan kerajaan-kerajaan negara dan satu kerajaan spiritual.
Sebelum diutusnya Muhammad saw. sebagai Nabi Allah, masyarakat Arab ketika itu hidup berpecah belah hanya karena perbedaan pandangan yang remeh temeh. Entah itu karena berbeda kampung, garis keturunan, bahkan sekedar karena membangga-banggakan patung berhala kaumnya dapat memantik api pertempuran antar kabilah. Begitulah gambaran Arab pada masa yang disebut sebagai era jahiliah oleh para sejawaran IslamÂ
Karakter masyarakat Arab jahiliah itu kental dengan sikap oposisi pesakitan yang dibangun diatas pondasi fanatisme golongan, yaitu karakter jiwa yang dipenuhi dengan rasa bangga terhadap golongannya secara berlebih-lebihan. Hingga nilai-nilai kebenaran yang terang benderang pun akan ditentang apabila tidak selaras dengan kepentingan kelompoknya.
Diantara peringatan Beliau saw. akan buruknya fanatisme golongan sebagaimana dicatat dalam Sunan An-Nasa'i adalah:Â "...barang siapa yang berperang dibawah bendera ketidak jelasan dan menyeru kepada kefanatikan atau marah karena fanatik kemudian terbunuh maka terbunuhnya adalah terbunuh secara jahiliyah".
Bukan hanya fanatisme golongan, akan tetapi hawa nafsu untuk membalaskan dendam pun sangat ditentang dalam ajaran Islam. Seperti yang terdapat dalam salah satu ayat Al-Quran, yaitu: "...... Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran......" (QS. 5:2).
Jelaslah kiranya bila ajaran Islam sangat menjunjung tinggi penegakan hukum yang berkeadilan. Suatu perbuatan salah yang jelas diyakini sebagai kesalahan, seperti halnya orang-orang yang menghalangi kaum muslim masuk ke Masjidilharam, tidak boleh mendapatkan perlakuan aniaya. Dengan kata lain, mereka yang menganiaya pelaku kejahatan diluar batas yang telah ditentukan oleh hukum sejatinya adalah penjahat yang melawan hukum itu sendiri.
Keburukan fanatisme golongan sepertinya tidak pandang bulu, aura negatifnya dapat merasuki siapa saja tak terkecuali kelompok-kelompok ahli ibadah sekalipun. Setidaknya begitulah yang digambarkan oleh mendiang KH. Mustafa Ali Yaqub, mantan Imam Besar Mesjid Istiqlah yang digelari sebagai "Pendekar Hadits Nusantara".