Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Isu Perubahan Iklim dalam Segitiga Sikap: Waras, Bijak, dan Baper

16 Maret 2019   16:15 Diperbarui: 16 Maret 2019   16:24 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia itu secara fitrah adalah makhluk waras (rational), setidaknya seperti itulah yang didefinisikan oleh para ahli ekonomi ketika membahas teori rational choice atau dalam bahasa kita cocok disebut sebagai ‘teori pilihannya orang waras’.

Sebagai makhluk waras tentunya manusia tidak akan memilih sesuatu yang akan merugikan dirinya. Lantas kapan keadaan yang akan merugikan itu diyakini ada? Ya, tentu ketika dihadapan kita terdapat lebih dari satu pilihan yang dapat dibandingkan sedemikian sehingga diperoleh sebuah kesimpulan pilihan mana yang paling menguntungkan. Begitu juga ketika berhadapan dengan isu lingkungan terkait dengan perubahan iklim. Penduduk dunia pada prinsipnya terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok waras dan kelompok bijak.

Pada tahap awal diskusi, isu perubahan iklim ini dominan ditopang dengan alasan yang dikemukakan oleh para ahli lingkungan tentang bahaya kerusakan alam akibat eksploitasi sumber daya yang berlebihan. Namun kampanye tersebut kurang mendapatkan sambutan dari sebagian besar kelompok orang kaya pemilik modal dunia. Wajar saja, karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa manusia itu adalah makhluk yang cenderung memilih sesuatu yang secara rasional lebih menguntungkan dirinya.

Bila menakar dengan sikap waras sudah sepatutnya sumber daya yang ada saat ini diambil manfaat sebanyak-banyaknya tanpa perlu bertele-tele memikirkan tentang generasi masa depan. Slogan bahwa sumber daya alam itu bukan warisan nenek moyang melainkan adalah titipan anak cucu menjadi naif dan tidak rasional. Kalau dipikirkan secara sepintas lalu mungkin nalar kita akan menerima alasan ini karena bagaimana mungkin anak cucu itu bisa lahir apabila nenek moyangnya sudah terlebih dahulu punah karena mengirit-irit penggunaan sumber daya alam yang ada.

Bukankan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan itu harus dibiayai dengan produksi/GDP (Gross Domestic Product)? Bagaimana mungkin akan terwujud pondasi kesejahteraan yang kokoh bagi anak cucu tanpa warisan GDP yang cukup? Bagaimana mau mewariskan GDP yang cukup jika terlalu banyak pembatasan pemanfaatan sumber daya alam?

Berbeda halnya bagi kelompok yang dikomandoi sikap bijak, mereka selalu optimis bahwa target GDP itu dapat dicapai dengan cara-cara yang lebih elegan. Walaupun belum dapat mendeskripsikan alasannya secara gamblang, sikap bijak mereka mendorong naluri untuk mencapai suatu tingkatkan kesejahteraan tanpa mengorbankan kesejahteraan pihak lain. Artinya, bila hendak mewujudkan kesejahteraan masa kini maka jangan korbankan kesejahteraan anak cucuk di masa depan.

Syukurlah kemudian bahwa kutub pemikiran waras dan bijak itu akhirnya bisa dijembatani oleh sebuah kajian ilmiah. Lebih dari satu dasa warsa sudah masyarakat dunia disuguhi laporan seorang ahli ekonomi perubahan iklim yang dikenal sebagai Stern Review. Pada 30 Oktober 2006, Prof. Nicholas Stern mempresentasikan laporannya yang setebal 700 halaman pada pemerintah Kerajaan Inggris Raya, laporan ini pula yang membuatnya menjadi tersohor dikalangan pemerhati lingkungan.

Kendati bukan ekonom pertama yang ikut berbicara dalam topik perubahan iklim, pendekatan yang digunakannya membuat para pemegang modal dunia semakin tertarik untuk ikut serta dalam kampanye perubahan iklim global. Stern Review memperkenalkan konsep valuasi dalam pembahasan ekonomi perubahan iklim sehingga untung rugi dari perubahan iklim itu dapat tergambarkan secara gamblang dalam imajinasi kita.

Jika sebelumnya gambaran bahaya perubahan iklim itu hanya berkutat pada isu lingkungan seperti peningkatan suhu global sebesar 2 derajat Celsius akan menyebabkan kepunahan bagi 15-40% spesies di muka bumi. Kemudian dikatakan bahwa kenaikan suhu global sekitar 2 s/d 3 derajat akan menyebabkan kenaikan permukaan air laut secara ekstrem. Lalu ada juga fakta bahwa peningkatan suhu global lebih dari 4 derjat Celsius diyakini akan merusak siklus pertanian tanaman pangan di seluruh dunia.

Maka hal yang berbeda disajikan dalam Stern Review, disitu pikiran kita dibuka dengan berbagai macam fakta yang mendasari alasan-alasan berikut: 

  1. Kenaikan suhu 2 s/d 3 derajat Celsius akan menyebabkan 200 juta manusia akan kehilangan tempat tinggal tenggelamnya kota-kota utama dunia saat ini, akibatnya akan menggerus Global GDP sebesar 3%;
  2. Akibat dari buruknya ketahanan pangan maka kenaikan suhu 4 s/d 5 derajat Celsius akan menurunkan Global GDP sebesar 10%;
  3. Ketika kepunahan spesies dikombinasikan dengan buruknya ketahanan pangan serta tenggelamnya kota-kota penting dunia, maka kenaikan suhu melebih 6 derajat Celsius akan menyebabkan turunkan konsumpsi per kapita dunia sebesar 20%.

Kemudian Stern Review menghadapkan kita pada pilihan yang lebih menguntungkan, yaitu kita hanya membutuhkan biaya sebesar 1% dari Global GDP untuk menjaga kadar emisi CO2 sebesar 500-550 ppm. Kadar yang diharapkan cukup untuk menstabilkan suhu permukaan bumi untuk tidak naik melebihi 2 derajat Celsius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun