Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sanggamara, Sebuah Doa Tolak Bala

24 Januari 2019   16:14 Diperbarui: 24 Januari 2019   16:18 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampilan Tribun Sanggamara dari Kejauhan (Photo: Dokumen Pribadi)

Menjelang tahun 1930, semasa perang berkepanjangan melawan kolonialisasi Belanda, Teuku Masoer Leupung menuliskan sebuah hikayat dalam bahasa Aceh yang diberi judul Sanggamara. 

Kini istilah Sanggamara merupakan titel bagi tiap prajurit TNI AD yang bertugas di Komando Daerah Militer Iskandar Muda (Kodam IM), Aceh. 

Bahkan tribun yang terletak di tengah-tengah lapangan Blang Padang tempat upacara-upacara kemiliteran sering dilaksanakan, juga diberi nama sebagai Tribun Sanggamara.

Kiranya apa yang membuat istilah Sanggamara ini begitu penting? Setelah menelusuri berberapa sumber keterangan, rupanya Hikayat Sanggamara itu merupakan kritik sosial dari seorang pemikir Aceh yang saat itu yang juga merupakan Uleebalang/penguasa wilayah Leupung, Kabupaten Aceh Besar saat ini. 

Ketika hikayat ini ditulis, diyakini keadaan budi pekerti ataupun tata krama serta adat sopan santun di Aceh, khususnya Aceh Besar, sedang dalam kondisi kritis. 

Bagaimana tidak? Pengalaman peperangan dan pertempuran selama 57 tahun yang dipenuhi dengan kekejaman dan pembantaian dari tentara kolonial memaksa rakyat Aceh untuk merubah karakternya dari masyarakat yang sangat memuliakan tamu menjadi pasukan berani mati. 

Padahal ibukota Banda Aceh sebagai Kuta Raja dahulunya merupakan kota kosmopolitan dimana setiap orang dapat menduduki jabatan penting dalam urusan pemerintahan tak pandang dari mana asalnya. 

Sejarah mencatat bahwa Perdana Menteri Kesultanan Aceh pernah dijabat oleh seorang keturunan Arab, posisi Menteri Luar Negeri pun pernah diampu oleh seorang keturunan India, bahkan keluarga Sultan terakhir yang berkuasa pun dikenal sebagai Dinasti Bugis, yaitu keturunan orang bugis yang kemudian diangkat menjadi Sultan di Aceh.

Oleh sebab banyaknya nilai-nilai sosial yang berlaku di masa lampau telah hilang seiring dengan lahirnya berbagai pertempuran, maka Sanggamara lahir sebagai kritik sekaligus peringatan bagi semua kalangan. 

Pujian atas karya ini pun kemudian datang dari berbagai pihak termasuk dari Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud, yang saat ini kita kenal sebagai salah seorang pahlawan kemerdekaan asal Aceh. 

Bahkan Stammeshaus, kontroler Belanda di Lhoknga-Aceh Besar, memuji Hikayat Sanggamara dan menganjurkan agar setiap orang luar yang datang ke Aceh mempelajarinya sebagai panduan cara bergaul dengan orang Aceh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun