Bagi yang masih mengingat tentang keadaan Bandara Sultan Iskandar Muda sewaktu masih dikenal sebagai Bandara Blang Bintang tentu memiliki kesan tersendiri dengan kondisinya saat ini.
Setelah diresmikan sebagai bandara internasional dan ditabalkan nama Sultan Iskandar Muda (SIM) menjadi nama resminya maka sudah sepatutnya bandara ini berbenah diri dengan membangun berbagai fasilitas pendukungnya.
Sekarang Bandara SIM sudah memiliki gedung embarkasi haji tersendiri serta apron khusus untuk penerbangan internasional walau rutenya masih terbatas hanya ke Penang dan Kuala Lumpur, Malaysia. Pemandangan yang sangat berbeda dengan apa yang pernah kita saksikan di era sembilan puluhan.
Bandara ini asal mulanya merupakan padang luas tempat areal persawahan masyarakat daerah Blang Bintang, Aceh Besar. Bertani padi dan memelihara hewan ternak seperti sapi, kerbau dan biri-biri adalah mata pencaharian penduduk sekitarnya.Â
Oleh karenanya ketika sudah dibangun landasan pacu sepanjang 2 km lebih pada tahun 1993-1994 pun menjadi pemandangan biasa bila petugas Angkasa Pura harus menghalau binatang ternak warga menjelang pendaratan pesawat dari Polonia, Medan.
Waktu itu tidak ditemukan gerai makanan di lokasi dalam bandara. Tapi sekarang jangankan gerai makanan, kedai kopi pun sudah beroperasi dan jarang terlihat sepi dari pelanggan.
Perkembangan Bandara SIM secara alamiah membawa perubahan pada keseharian penduduk Blang Bintang. Diantara mereka tak pandang jenis kelamin banyak yang mencoba mencari nafkah dengan menawarkan jasanya pada para penumpang pesawat. Baik sebagai porter maupun petugas kebersihan. Namun ada satu profesi yang hanya digeluti oleh kaum pria, yaitu jasa taksi bandara.
Hari ini ada yang menarik dari percakapan para supir taksi ini yang berhasil saya curi dengar sewaktu menjemput istri tadi sore. Sambil tertawa lepas salah seorang mereka berkata dalam bahasa Aceh pada temannya: "Alahai, kon raseuki lon rupanya, ha ha ha...", yang artinya: "Aduhai, bukan rezeki saya rupanya, ha ha ha..."
Unik pikir saya, dalam kondisi pasar dengan persaingan sempurna ini pun mereka tidak saling menindas satu sama lain hanya untuk mendapatkan rupiah. Tapi dengan mudahnya mengikhlaskan "calon penumpangnya" dibawa oleh supir lain walaupun sebelumnya hampir sepakat dengannya. Selidik punya selidik rupanya kebetulan lewat supir lain yang jadi langganan sang penumpang sehingga memutuskan negosiasi mereka dan peluang pendapatan itu sirna begitu saja.
Entah karena para supir taksi ini masih punya hubungan kekerabatan mengingat mereka tinggal di area perkampungan yang masih berdekatan. Atau karena profesi ini hanya berupa pekerjaan sampingan dari profesi utama mereka.Â
Tapi sepertinya lebih dipengaruhi oleh pendidikan kepribadian dari orang tua mereka sebagai masyarakat petani, masyarakat yang terdidik untuk bersabar dan saling tolong menolong dalam urusan nafkah.