Mohon tunggu...
Fahrul Ramadhan
Fahrul Ramadhan Mohon Tunggu... Atlet - Preferensi mahasiswa

Kepribadian mengingat banyak teman dan bersosialisasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tinjauan Golput, Antara Haram dan Halal

19 Desember 2023   12:34 Diperbarui: 19 Desember 2023   13:10 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar: Desain Canva (Selasa,19 Desember 2023)

Ulasan ini dibuat merespon putusan MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang memperkuat   argumentasi soal Golput Haram yang hanya mengkaji melalui pendekatan aspek kewajiban melih pemimpin.
Harusnya  Ijtima yang dikeluarkan berdasarkan kondisi ilmiah negara Indonesia  melaului pendekatan Al-Qur'an dan Sunnah yang tersistematis, MUI memakai terminologi haram ini sesuatu yang berlebihan dengan sistem republik seperti indonesia.

Secara sadar saya ingin mengkonfirmasi lebih awal ini bukan membenarkan Golput dan tidak golput,dua-duanya bisa dilakukan dan tidak dilakukan tergantung kita berpandangan seperti apa (Semasih bisa dirasionalisasikan secara ilmiah).

Apakah ia kita akan memilih pemimpin Zalim yang dibungkus dengan UU Pemilu biar kelihatan demokrasi, Haram yang sampaikan oleh MUI sebuah problem yang besar atas umat beragama islam harusnya diturunkan bagian eksplisit secara proporsional dengan demokrasi dan negara moderen berbentuk republik. Biar kongkrit baiknya MUI memberikan pandangan diantara dua Konsep (Goput Haram-Halal) serta tinjauwan politik islam dengan kondisi RI.

Ringkasan Golput

Dikutip dari "Pusat Edukasi Antikorupsi"Istilah golput naik daun ketika menjelang Pemilu 1971.Kamis (3 Juni 1971), sekelompok mahasiswa, pemuda dan pelajar meriung di Balai Budaja Djakarta. Mereka memproklamirkan berdirinya "Golongan Putih" sebagai gerakan moral. Di antara tokoh-tokoh yang menjadi motor gerakan itu, seperti Adnan Buyung Nasution dan Arief Budiman, tulis Kompas, 5 Juni 1971.

"Kelompok ini merasa aspirasi politik mereka tidak terwakili oleh wadah politik formal waktu itu," demikian dikutip dari buku Arief Budiman Tukang Kritik Profesional (2020). 

"Mereka menyeru orang-orang yang tidak mau memilih partai politik dan Golkar untuk menusuk bagian yang putih (yang kosong) di antara sepuluh tanda gambar yang ada."

Setelah bertahun-tahun sejak itu, Arief mengatakan, dirinya melahirkan gerakan golput karena Pemilu 1971 digelar tidak demokratis: pemerintah membatasi jumlah partai. Sebetulnya istilah golput datang dari rekan Arief, Imam Waluyo yang ikut dalam gerakan itu.

Dari tahun ke tahun, golput selalu menjadi persoalan. Karena tidak semua keputusan golput berangkat dari gerakan moral atau idealisme yang murni. Pemilu pasca Reformasi, orang menjadi golput juga bukan karena idealisme, tapi kondisi yang memaksa dirinya tak mencoblos.

Angka golput pada Pemilu 2019 termasuk yang terendah dibandingkan pemilu sebelumnya sejak 2004. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah masyarakat yang golput pada 2019 sebanyak 34,75 juta atau sekitar 18,02 persen dari total pemilih yang terdaftar. Sementara, pada 2014, jumlah golput sebanyak 58,61 juta orang atau 30,22 persen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun