Perdebatan tentang soal seorang anak SD yang diunggah kakak yang mengajarkannya, M Erfas Maulana rupanya masih terus berlanjut. Meski sang kakak yang adalah mahasiswa UNDIP ini sudah meminta maaf[1], para pemerhati pendidikan tetap tergelitik untuk menyatakan pendapat mereka mengenai apakah sama antara 4x6 dan 6x4. Perdebatan ini semakin menarik karena yang angkat suara belakangan ini adalah para profesor, beberapa guru besar di bidang ilmu eksak.
Setidaknya ada tiga guru besar yang baru-baru ini memberikan tanggapan terkait persoalan ini. Karena opsinya hanya ada dua: sama atau beda, maka pendapat mereka pun terpolarisasi ke dalam dua pilihan ini:
Yang mengatakan keduanya berbeda di antaranya adalah seorang guru besar fisika, Profesor Yohanes Surya dan guru besar astrofisika dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Profesor Thomas Djamaluddin.
Prof. Yohanes memberikan penjelasan dengan analogi jeruk dan kotaknya, "Ketika menghitung 6 x 4, kita membayangkan menghitung jumlah jeruk dalam 6 kotak berisi masing-masing 4 jeruk. Jadi, 6 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4. Ketika menghitung 4 x 6, kita membayangkan menghitung jumlah jeruk dalam 4 kotak berisi masing-masing 6 jeruk. Jadi, 4 x 6 = 6 + 6 + 6 + 6”.[2] Karena itu keduanya berbeda.
Sejurus dengan Prof. Yohanes, Prof. Thomas dengan analogi berbeda berpandangan bahwa secara logis pun terdapat perbedaan. Thomas menerangkan perbedaan 6 x 4 dengan 4 x 6 lewat sebuah soal cerita, "Ahmad dan Ali harus memindahkan bata yang jumlahnya sama, 24. Karena Ahmad lebih kuat, ia membawa 6 bata sebanyak 4 kali, secara matematis ditulis 4 x 6. Tetapi, Ali yang badannya lebih kecil, hanya mampu membawa 4 bata sebanyak 6 kali, model matematisnya 6 x 4. Jadi, 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 6 x 4, berbeda konsepnya dengan 6 + 6 + 6 + 6 = 4 x 6, walau hasilnya sama 24".[3]
Contoh analogi ini ditolak oleh Profesor Iwan Pranoto, guru besar matematika ITB dengan mengatakan bahwa 4 x 6 dan 6 x 4 sebenarnya sama saja. Jawaban bahwa 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 4 x 6 tidak bisa serta-merta disalahkan. "Itu ilmu alam, bukan matematika jadinya. Di ilmu alam, kita mengamati, lalu berteori. Di matematika, kita berteori dan bernalar dengannya, menjelajah berbagai inferensinya."[4]
Dengan sedikit berkelakar ia menambahkan, “Secara bercanda, matematikawan akan berkata bahwa karena alam/semesta yang tak ideal, akhirnya teori matematika tak sesuai dengan fenomena alam. Yang salah itu alam/semesta, bukan salah matematikanya karena matematika lebih ideal dari kenyataan/alam. Persamaan/pernyataan matematika kekal. Lebih kekal dari alam”.
Ketiga penjelasan guru besar di atas sangat masuk akal, tetapi juga masuk ke akal lengkap dengan persoalannya masing-masing. Pendapat guru besar fisika dan astrofisika benar dengan contoh studi kasusnya masing-masing. Kecenderungan bentuk soal naratif yang mereka munculkan seperti ini –sekedar pendapat saya– dapat dipahami mengingat background mereka sebagai pegiat ilmu terapan. Karena itu, keduanya melihat teks bergantung pada konteks terapannya. Matematika terapan.
Sangat berbeda dengan guru besar matematika yang bercerita tentang matematika –sekali lagi sekedar berpendapat– apa adanya, melihat persoalan tersebut sesuatu teks apa adanya. Kalaupun melibatkan konteks maka dalam konteks pertanyaan 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = ... x ... = 24, pure matematika itu sendirilah konteksnya. Matematika murni.
Pertanyaan ini bukan soal narasi –beberapa pengajar kepada anak-anak biasa menyebutnya ‘soal cerita’– di mana konteks memegang peranan besar untuk merubah segenap tafsir atas teks soal. Sehingga dalam hal ini Prof. Iwan lebih tepat bahwa 4 x 6 dan 6 x 4 sama saja. Karenanya, analogi contoh kasus tidak tepat menjelaskan persoalan ini, apalagi sampai dijadikan rujukan untuk menyalahkan.
Faktor lain yang seharusnya menjadi pertimbangan penting adalah apa yang menjadi penjelasan sang guru saat dikonfirmasi oleh Erfas, yakni bahwa itu sudah sesuai dengan kurikulum. Penjelasan serupa saya peroleh dari diskusi panjang dengan seorang sahabat semalam, yang seorang pengajar di sebuah sekolah dasar swasta, Amiril Mukminin. Dari debat, ada tiga aspek yang menurutnya perlu diperhatikan; 1] ketepatan jawaban, 2] kesesuaian dengan target kurikulum, 3] kemudahan pemahaman bagi siswa. Tentu ini hanya pendapat pribadinya, dan juga tentu pasti sangat banyak variabel lain. Tetapi saya sependapat bahwa setidaknya tiga variabel ini representatif menyorot persoalan.
Meski berbeda pendapat –selain tiga variabel yang ia bahas– di mana pada akhirnya sahabat ini membenarkan sikap sang guru dengan pertimbangan “kesesuaian kurikulum” dan “kemudahan pemahaman bagi siswa”, saya pikir idealnya memang tidak tepat jika hanya menimbang “ketepatan jawaban”. Akan tetapi, idealitas (das sollen) ini tidak sejalan dengan realitas (das sein) dalam bentuk soal yang diberikan kepada siswa sekolah dasar tersebut. Dan justru inilah sebenarnya inti persoalannya. Bukan tentang hubungan 4 x 6 atau 6 x 4.
Jika sebuah metode (kemudahan pemahaman bagi siswa) dan metodologi (kesesuaian kurikulum) bertentangan dengan kebenaran (ketepatan jawaban), maka tidak mungkin kebenaran yang salah. Sebab jika salah, bukan kebenaran lagi namanya; tapi kesalahan. Persoalannya pasti terletak pada metode dan metodologi tersebut, yang berarti masalah bukan pada jawaban, tetapi justru pada soal yang diberikan.
Soal untuk bisa memenuhi ketiga variabel di atas karenanya seharusnya diubah. Jika ada target “kesesuaian kurikulum”, apalagi ada keinginan “kemudahan pemahaman bagi siswa” maka pertanyaan yang dibuat harus didesain demikian. Jika tujuannya mengarahkan dan tidak mau menerima jawaban lain yang juga bisa benar, jangan memberikan pertanyaan yang membuka opsi lain berupa “... x ...”. Berikan adik-adik kecil itu pertanyaan yang sudah mengarah sehingga mereka terarah. Sehingga pertanyaan yang seharusnya diberikan kepada mereka bukan 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = ... x ... = 24, melainkan 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = ... x 4 = 24.
Kalau tidak mau menerima opsi jawaban lain, jangan berikan harapan adanya kemungkinan lain. Kalau targetnya agar nantinya mereka mengerti rumus dan terapan, tuntun ke arah sana. Kalau tujuannya agar mudah siswa pahami, maka mudahkanlah. Soal matematika murni (tanpa narasi kontekstual) memang adalah latihan menuju matematika terapan (dengan narasi kontekstual), tetapi keduanya tetap berbeda dan karenanya yang satu tidak bisa dijadikan ukuran menilai yang lain.
Pada akhirnya, seperti halnya seseorang –dalam Islam–sejak kecil diajarkan shalat agar nanti setelah dewasa mereka tahu kewajiban dan tata caranya, kesalahan dia waktu kecil belum bisa diberi hukum seperti halnya seorang yang dewasa. Begitu pula, meski soal matematika murni bertujuan sebagai latihan menuju matematika terapan, persoalan pada matematika murni akan menjadi lucu ketika dinilai dalam konteks matematika terapan. (FM)
[1]Republika Online, Pengunggah Soal 4 x 6 Minta Maaf, Ini Pernyataan Lengkapnya, http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/09/23/nccwhu-pengunggah-soal-4x6-minta-maaf-ini-pernyataan-lengkapnya, 24 September 2013
[2]Kompas, 6 x 4 atau 4 x 6? Ini Penjelasan Sederhana dari Yohanes Surya, http://sains.kompas.com/read/2014/09/23/10502281/6.x.4.atau.4.x.6.Ini.Penjelasan.Sederhana.dari.Yohanes.Surya?utm_campaign=popread&utm_medium=bp&utm_source=news, 24 September 2013
[3]Kompas, Ini Beda antara 4 x 6 dan 6 x 4 Menurut Profesor Lapan, sains.kompas.com/read/2014/09/22/22195601/Ini.Beda.4.x.6.dengan.6.x.4.Menurut.Profesor.LAPAN, 24 September 2013
[4]Kompas, Gara-gara 4 x 6 dan 6 x 4, Yohanes Surya Didebat Profesor ITB, http://sains.kompas.com/read/2014/09/23/17350661/Gara-gara.4.x.6.dan.6.x.4.Yohanes.Surya.Didebat.Profesor.ITB?utm_campaign=popread&utm_medium=bp&utm_source=news, 24 September 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H