Fahrudin Nasrulloh*
Dalam beberapa obrolan dan jagongan tentang seni-budaya Jombang, ada seorang pegiat seni yang dengan antusias tapi terkesan chauvinistik menyebut bahwa banyak ikon Jombang yang perlu dilestarikan keberadaannya. Misalnya ia menyebut sosok Besut, pengremo legendaris Mbah Bolet, warisan Topeng Jatiduwur, Watu Gilang di Ploso, situs Sendang Made, tradisi warga Sandur Mandura, dan lain-lain. Sejumlah pejabat pemerintah juga kerap mengkopi-ucap data inventaris kesenian itu kala memberi sambutan pada acara-acara resmi tertentu. Nimbrung nanya, seberapa akurat dan seperti apa jenis deretan kesenian itu telah ditelusuri dan selanjutnya diketahui sebagai sebuah pengetahuan yang menjadi kesadaran milik bersama warga Jombang? Boleh jadi saya keliru mengudar rasa bahwa topik macam demikian semata hanya bahan kelakaran sambil-lalu atau gosip di jedah istirahat makan siang di sebuah acara resmi pejabat atau seniman yang merasa ngurusi kesenian, misalnya.
Ambil contoh lanskap lain, katakanlah ludruk sebagai sebentuk kesenian yang muncul di Jombang, apa yang sudah dilakukan pemerhati ludruk Jombang untuk mengembangkannya? Haruskah kita berkali-kali mendaku tanpa gagasan riset baru bahwa ludruk adalah anak sejarah yang lahir di tlatah Jombang sejak 1907 dengan munculnya lerokan Pak Santik, Pak Amir, dan Pak Pono? Apakah Paguyuban Ludruk Arek Jombang (Palambang) yang konon dimunculkan dari rahim gagasan Bupati Suyanto telah benar-benar memberi kontribusi positif dan kondusif bagi mekarnya ludruk Jombang, ataukah malah sebaliknya? Jika Palambang yang lahir pada 2007 telah nyata-nyata memberikan sumbangsih bagi seluruh seniman ludruk dan warga Jombang, lagi-lagi saya bertanya, apa implementasi riil baik yang bersifat fisik maupun yang visioner?
Kita bisa mencatat peristiwa yang agak tragis dan miris bagi Palambang yang bertampil ludruk dengan lakon “Kebo Nyusu Gudel” saat pengukuhan Dewan Kesenian Jombang pada 25 Februari 2010 di mana salah satu pemeran perempuan, Darwati namanya, diganti begitu saja oleh “pihak dalam” Palambang dengan pemain lain. Padahal Darwati sudah didapuk pada gladi resik sebelumnya. Dan tanpa pemberitahuan, ia digajul begitu saja. Darwati pulang dengan sesak sesal dan tersepelekan harga dirinya. Ada yang bilang dan sempat terdengar, “Ngurus pentas ludruk saja nggak becus. Bagaimana pula memikirkan masa depannya?” Yang aneh dan lebih menggelikan lagi, pengukuhan itu sampai menghadirkan artis Ayu Azhari dengan pesangon 15 juta hanya untuk berjoget dengan lagu “Terajana”. Sungguh mewah acara resmi ini. Sementara kita lupa ada Wak Bari si seniman ludruk gaek asal Kabuh yang lama digelut stroke yang tak lagi bisa kita mendengar riwayat ludruk Jombang darinya sebagai data sejarah ludruk. Apa hubungan yang masuk akal si artis ini dengan pengukuhan DeKaJo? Yang saya tahu ia cuma teman baru nan akrab Bupati Suyanto saat keduanya jadi bintang tamu di Empat Mata-nya Tukul Arwana. Tak lebih dari itu. Dimensi kesadaran ruang sosial telah hilang di sana. Dunia intertainment, gosip, selebritisme, dicampur-baur dengan ruang apresiasi lembaga kesenian yang baru saja dibentuk itu yang sebenarnya harus disadari bersama.
Di tempat lain, dan lantaran peristiwa itu, sejumlah seniman ludruk yang tidak terlibat dalam pementasan Palambang malam itu merasa tersinggung dengan amat sangat atas perlakuan yang tidak etis terhadap Darwati itu sehingga mereka melayangkan surat protes dengan tembusan langsung kepada yang terhormat Bupati Suyanto. Ketidakberesan ini menguarkan citra buruk bahkan telah menyebar ke seabrek telinga di luar Jombang.
Tapi benarkah demikian kasus yang menimpa pada Darwati? Bila memang begitu ceritanya, jangan salah sangka jika ada kesan bahwa ludruk Jombang itu bermasalah dan oleh sebab itu imbasnya banyak pula grup ludruk Jombang kurang diminati masyarakat. Complicated problems. Kadang saya lebih suka diperhadapkan pada berbagai masalah pelik agar jiwa tercambuk dan tangguh karenanya, dengan catatan, segera selesaikan masalah yang bejibun itu. Tidak dibiarkan, nanti bisa membusuki diri sendiri. Belum lagi soal ludruk tobongan asal Jombang yang nyaris punah. Sebut saja Ludruk Mamik Jaya yang kini ketlarak di tegalan sawah pedalaman Madiun, sebelumnya mereka ngamen di daerah Tulungagung, Trenggalek, Ngawi, dan Magetan. Sudah 12 tahun mereka nobong. Banyak cap yang terlekat dalam grup ludruk ini di rantau, misalnya: “panorama kenelangsaan”, “drama kemelaratan”, “yang bersetia penuh nguri-nguri ludruk”, “berjaya hidup-mati di tobongan”, “kemalasan kreativitas”, “kaum seniman martir yang terbuang”, “sasaran empuk politisasi kesenian”, dan bla-bla-bla. Mustinya sejak dulu Bupati Suyanto memikirkan apa solusi terbaik atas kondisi mereka. Atau memang demikiankah garis nasib seni tradisi: ia kelak bakal lenyap sendiri, menguap dideru perubahan zaman, seperti takdir Ludruk Mandala yang tutup tobong tahun 2008, yang pimpinannya tak lain adalah Dayat dari Peterongan.
Baiklah, itu satu contoh kasus yang boleh bagi siapapun untuk mengklarifikasi dan urun rembug. Soal lain, tentang ikon yang, untuk sementara, dianggap milik Jombang, yakni Mbah Bolet. Ia memang tidak disangkal lagi bahkan di seantero Jawa Timur akan dedikasi dan kehebatannya dalam olah-karya tari remo. “Remo Boletan” adalah sebutan yang prestisius. Tokoh ini sampai melahirkan dan menginspirasi generasi seniman remo lain semisal Ali Markasa, Mujiono, Pak Gendut dari Kediri, dan Bu Sur dari Mojowarno. Sekedar nanya, siapakah yang mengenal lekat Mbah Bolet dan menangi masa hidupnya? Ini pertanyaan konyol pula, dan dapat dibalik-tanya: kalau memang ada lantas kenapa dan mau apa?
Hanya beberapa orang mungkin yang masih hidup saat ini yang kenal dan paham betul dan punya pengalaman yang mendalam dengannya. Pernah saya tanya pada sesepuh seniman atau pemerhati ludruk Jombang, apakah anda punya foto Mbah Bolet? Ini pertanyaan sepele, tapi tak gampang dijawab dengan data konkrit, sebab banyak pejabat atau seniman Jombang yang ingin mengabadikan sosok ini dalam bentuk lukisan, cinderamata, monumen patung, dan lain-lain dengan bayangan bahwa dari tokoh ini bisa dijadikan industri kreatif yang menjanjikan untuk penabalan sekaligus penguatan identitas dan potensi Jombang. Ataukah jika saja anda pernah menemukan sebuah tulisan atau riset kecil-kecilan yang cukup bisa dijadikan sumber awal untuk lebih mengenal sosoknya? Dari beberapa pertanyaan enteng itu, jawaban sementara yang saya pungut hanyalah seraut wajah: BENGONG.
Padahal, Pak Ali Markasa, pernah cerita pada saya, bahwa ia mengenal Mbah Bolet sejak tahun 1966. Ia tak tahu kapan Mbah Bolet lahir. Sumber cerita lain menyebut nama asli Mbah Mbolet adalah Sastro Bolet Amenan. Kiranya ada bau ningrat dari nama itu. Ia meninggal pada Selasa Pon, 17 Agustus 1987, di Jombang. Nama dia silakan saja dijadikan ikon seniman besar Jombang. Tapi sejauh mana kita mengenalnya dengan baik? Untuk mengenalnya pasti membutuhkan sejarah hidupnya, bukan? Jadi setali tiga uang, jika pembaca ada yang memiliki data tertulis atau apapun yang berkaitan dengan sosok ini, anda bisa membagi informasi tersebut kepada Bupati Suyanto yang telah menabalkan dirinya sebagai pengayom (dan pelestari?) ludruk dan seniman ludruk Jombang. Atau jika anda sungkan menginjakkan kaki di rumput indah kabupatenan, anda bisa berbagi cerita pada Komite Seni Tradisonal di Dewan Kesenian Jombang yang ketuanya kini adalah Pak Eko Wahyudi.
Soal terkait lain, tentang warisan Topeng Jatiduwur. Saya kira, menurut data rekaman saya dari cerita Pak Supriyo di Jatiduwur, seniman pengampu tradisi topeng di sana sudah susah diajak maju. Cara berpikir mereka yang menilai pihak pemerintah yang mengurusi kesenian hanya mengambil untungnya saja dan mereka merasa bahwa diri mereka dan keseniannya hanya diperhatikan saat dibutuhkan, seperti sewaktu ada undangan tampil di propinsi atau di TVRI dengan bajet sekian lalu mereka dapat jatah sekian. Ironisnya, mereka merasa dikibuli dengan dapat honorarium yang tak sebegitu yang seharusnya menurut sangkaan mereka harusnya dapat sebegini dan bla-bal-bla. Kini, mereka sudah susah diajak kerja sama lagi dengan pemerintah yang mengurusi kesenian itu. Peristiwa tersebut seolah menjelma “batu” di kepala masing-masing orang yang pernah terlibat langsung di dalamnya dan lama-kelamaan pasti mengeras jadi fosil rapuh yang gampang dikibas angin lalu. Apalagi bahwa Mbah Nasrim sebagai penari Topeng Jatiduwur yang sangat piawai telah lama meninggal. Dan anak turunnya tak ada yang mewarisi keahlian tersebut. Kalau pun ada, tak bisa diandalkan. Maka, apa yang tersisa dari warisan Topeng Jatiduwur? Mungkin masih ada jejak yang bisa terus digali dari sana. Tapi siapa yang mau bergerak intensif untuk itu?
Dari kondisi beberapa jenis kesenian dan sosok seniman yang karut-marut dan kabur demikian, masihkah ada yang ngimpi bahwa Jombang punya ikon kesenian yang dapat dibanggakan dan jadi maskot di tingkat nasional? Jika Bupati Suyanto, atau pemerhati kesenian Jombang, atau DeKaJo (Dewan Kesenian Jombang) menilai persoalan-persoalan ini tidak penting bagi identitas Jombang di kemudian waktu. Jangan semudah ngimpi dengan berkata: “Jombang kelak akan menjadi mercusuar kebudayaan Nusantara.” Guyonan saya, kalimat gagah bin keren ini sebagai “kata benda”, “kata kerja”, atau “impian kosong”?
Atau, jika suatu saat ada kunjungan kenegaraan dari Istana Kepresidenan, lalu ada yang bertanya karena tertarik pada tokoh-tokoh nasional yang lahir dari Jombang, kapankah Hari Jadi Kelahiran Kabupaten Jombang? Adakah semacam buku tentang “Sejarah Kabupaten Jombang”? Bupati Suyanto tentu berharap tidak ada pertanyaan yang seperti itu. Tapi, jika pertanyaan semacam itu muncul dari Pusat suatu saat, boleh saja Bupati Suyanto mengalihkan obrolan ke topik lain. Ini soal yang sebenarnya sederhana, namun sesungguhnya mendasar. Ya, soal identitas wilayah pemerintahan dan kesejarahannya. Memang upaya penelurusan Hari Jadi Jombang sudah pernah dilakukan pada 2007. Namun hingga kini tak terdengar kabarnya lagi.
Sekedar contoh, Kabupaten Nganjuk telah memiliki buku sejarah asal-usul Kabupatennya. Si penulisnya, Harimintadji dan timnya, bertahun-tahun menelusuri sejarah berdirinya Nganjuk, sampai pada 1994 terbitlah buku Nganjuk dan Sejarahnya. Dengan munculnya buku tersebut tidak sepenuhnya diterima warga Nganjuk. Perdebatan dalam sejumlah seminar dan bedah buku tersebut terus berkembang. Sebuah dilektika yang menarik sebenarnya, di mana warga, tokoh masyarakat, budayawan, merasa terlibat di dalamnya, hingga tahun 2004 Harimintadji secara khusus membuat buku dari dinamika itu dengan judul Kontroversi Sekitar Hari Jadi Kabupaten Nganjuk. Yang perlu diacungi salut dari dinamika kota ini adalah bahwa empat masa periode bupati Nganjuk dari yang sekarang dan sebelumnya sungguh mendukung penuh dan mendanai tim penulis yang dipimpin oleh Harimintadji yang mana dia bukanlah sejarawan kesohor. Ia hanya si tua pensiunan dari Dinas Tata Pemerintahan Pusat, tapi mau bergerak dan berkeringat. Untuk penulisan sejarah Jombang, kayaknya jika mau serius, Bupati Suyanto bisa saja “ngedok dengan SK Bupati” bahwa penelusuran sejarah Jombang perlu ditindaklanjuti dan diprioritaskan sebagai agenda mendesak. Dengan catatan beliau tepat dan benar menunjuk tim riset dan konsultan ahli dari beberapa sejarawan yang kredibel dan berintegritas tinggi. Ini akan menjadi catatan penting sebagai salahsatu tinggalan Bupati Suyanto yang paling berharga sampai akhir jabatannya pada 2013.
Pastinya, masih banyak persoalan seni-budaya yang berkerumuk di lorong terdalam kesejarahan Jombang. Kepada Bupati Suyanto, para seniman dan budayawan, pemerhati kesenian, guru-guru, pelajar, semua pihak yang bersepaham dengan soal ini, serta warga Jombang yang budiman, bahwa dalam paparan tulisan ini, boleh dibantah diuji dan ditanggapi. Paling tidak, dari situ ada yang bisa kita ambil manfaatnya di kemudian hari.
-------
Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H