Fahrudin Nasrulloh*
Pada hakikatnya warisan tradisi merupakan hasil proses kesejarahan manusia yang panjang bercecabang dan karenanya tak gampang dilacak jejaknya. Ikhtiar pengembangan yang kita butuhkan adalah seberapa jauh dan telaten pegiat kesenian atau seniman itu sendiri dapat memahami kesenian, tidak hanya pada tataran sekadar mencermati, namun proses “melakoni” yang berlandaskan “daya telisik” dan bukti konkrit serta keterlibatannya agar dapat terus ditumbuhkan dan disadari sebagai sebuah cermin berkehidupan yang berkebudayaan. Pendek ungkap, khasanah tradisi adalah sebentang perjalanan di mana manusia dan kebudayaannya “mengada” dan “menghayat” di dalam kehidupan sehari-hari.
Kesenian, dalam pemikiran Halim HD (pekerja budaya dari Forum Pinilih Solo), “merupakan pernyataan dan menjadi milik dari sebuah wujud kebersamaan suatu masyarakat.” Karena itu, upaya untuk terus berinstrospeksi dan berpikir kritis atas berbagai kemungkinan yang akan terjadi merupakan hal pokok dan mendesak agar khasanah kesenian kita tidak terpuruk hanya sebagai “bahan dodolan” (barang jualan) yang akan menciptakan bayangan palsu dan trik manipulatif yang dapat merugikan secara sosial-ekonomis bagi warga pengampu tradisi.
Seberapa jeli kita melihat sekaligus meresapi semisal pada kesenian Topeng Jati Duwur di daerah Jatiduwur dan Jati Pandak yang begitu pelik permasalahannya ketika warga pengampu tradisi ini belum dapat secara penuh-seluruh melestarikannya dan menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka. Seolah ada bayangan kepunahan di sana. Persoalan-persolan yang bersengkarutan di dalamnya perlu dipikirkan secara cermat. Juga pemecahan dan pemetaan problem di wilayah kesenian lainnya seperti seni jaranan (konon di Jombang ada sekitar 40-an grup jaranan), juga keberadaan ludruk yang salah satu sebab keterpinggirannya adalah dibayang-bayangi seni karawitan dan campursarian, pun Sandur Manduro yang “tak berlanjut” dari kajian intensif setelah penelitian yang berkeringat-keringat yang telah dilakukan oleh pegiat kesenian: Imam Ghozali Ar, Inswiardi, dan Dian Sukarno.
Sehubungan itu, apa yang telah dilakukan oleh Tim Pelestarian dan Perlindungan (TPP) Seni-Budaya Jombang, tidaklah sepenuhnya dapat mengurai secara tuntas semua problematik di atas. Maka pertemuan pada 28 Mei 2009, di Kantor Disporabudpar di Jl. Gatot Subroto No. 151, berusaha melakukan evaluasi kritis atas sejauh mana tim ini bergerak dan bervisi jelas. Untuk sementara, sebagai hasil kerja konkrit, tim ini beserta Disporabudpar akan menerbitkan buku berjudul Bunga Rampai Kesenian Jombang. Buku sederhana ini adalah hasil keringat dari tim penelusur yang terdiri dari Supriyo, Heru Cahyono, Koko Hari Pramono, Jabbar Abdullah, Dian Sukarno, Siti Sa’adah, Bu Ellin, Fahrudin Nasrulloh, Susnania, Ngaidi Wibowo, dan Nasrul Ilahi.
Gagasan selanjutnya dari TPP adalah meluaskan jejaring geraknya dalam bentuk media maya, yakni membikin blog dan facebook dengan bendera: http/pelestaribudayajombang. Media cyber ini sudah bergerak sejak 1 Juni 2009 yang secara aktif-simultan menyebarkan semua data hasil penelusuran beserta foto dan video-pendeknya. Menurut Gufron, Kepala Bidang Budaya dan Pariwisata Disporabudpar Jombang, “Penerbitan buku dan blog itu akan menjadi tolok-ukur agar kesenian dan budaya Jombang tidak luntur, agar generasi muda kini dan mendatang tidak kehilangan akar kesejarahannya sebagai warga Jombang yang musti memiliki karakter juga berkemandirian.” Kini blog http/pelestaribudayajombang.com bisa disambangi dan diapresiasi, sedang buku Bunga Rampai Kesenian Jombang akan diupayakan terbit pada bulan Agustus 2009 dan didiskusikan dalam rangkaian acara Pekan Budaya Jombang yang akan berlangsung Oktober 2009, di GOR Jombang.
Diadakannya Festival Seni dan Media Pertunjukan Rakyat Tingkat Nasional (juga dalam rangka peringatan Harkitnas ke-101 tahun), pada 29 Mei sampai 3 Juni 2009, di GOR Ken Arok, Malang, tampaknya perlu juga dicatat sebagai bentuk usaha pengembangan kebudayaan yang terus digali dan dilestarikan. Pada acara 29 Mei 2009 itu digelar dialog bertajuk “Pengembangan, Pemberdayaan, dan Pelestarian Seni Budaya Tradisional”, yang menghadirkan James Pardede (Direktur Depkominfo) dan Dirut RRI, Parni Hadi. James mengatakan bahwa Indonesia harus menjadi bangsa yang maju dengan teknologi informasi namun hal itu musti dilakukan tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya asli. Setali tiga uang, Parni berpendapat ada lima pilar untuk memajukan budaya Indonesia, yakni negara atau pemerintah yang memfasilitasi, seniman atau budayawan yang berkreasi, publik yang memberi apresiasi, dunia usaha yang memberi kesempatan, dan media massa yang mempublikasi.
Bagaimanakah dengan kesenian Jombang? Jika kita membincangkan soal nasib kesenian Jombang ke depan, perlukah ada semacam “laboratorium kesenian Jombang” sebagai konsentrasi penggodokan untuk upaya pelacakan sejarah keseniannya yang bertumpu pada geografi kultural di mana para penggerak seni dan senimannya menyadari bahwa merekalah pengemban kebudayaan yang seyogyanya bertanggung jawab dan bersetia melestarikannya? Semisal dalam ranah perludrukan. Bagaimanakah eksistensi ludruk di Jombang dalam menghadapi kepungan seabrek hiburan lain di samping pencermatan atas bayangan “sepi dan dinginnya” apresian ludruk. Artinya, tantangan ludruk ini seperti “hantu gila tak diundang tapi nyata datang”, di mana problem baik di wilayah internal ludruk maupun di luarnya membutuhkan solusi yang mendesak untuk dielaborasi.
Gagasan “laboratorium kesenian” ini, meminjam istilah Halim HD, bukanlah sebentuk “frase mati” dari “kata benda”, tapi sebentang tindakan nyata dari “kata kerja”. Artinya, pada tingkat “locus” (atau geografis), bisa menempat atau bertempat pada suatu desa atau kampung yang memiliki tradisi yang kokoh dan berakar yang bisa dijadikan sebagai pusat “laboratorium kesenian” dan, di sanalah konservasi dan pengembangan aneka bentuk kesenian digerakkan. Modelnya bisa seperti mengadakan ajang forum diskusi dan meluaskan jaringan kerja kesenian yang terkait dengan wilayah sosial yang lain.
Gerakan demikian ini diperlukan supaya tercipta suatu jaringan kesenian dari tingkat desa, kecamatan, sampai kabupaten untuk mengatasi dan menyaring arus kebudayaan asing yang tanpa terasa bahwa industrialisasi makin mengikis dan meminggirkan kebudayaan lokal Jombang. “Anjangsana budaya Jombang” ini juga bisa menjadi penakar dan penimbang di mana seluruh aspek dan jenis kesenian dari yang tradisional hingga yang moderen dapat berkumpul untuk membahas dan merumuskan suatu gerakan kesenian dan kebudayaan yang berakar pada penggalian tradisi lokal. Melacak dan menghidupkan dan selanjutnya mengelaborasinya semisal pada sanggar-sanggar atau grup-grup kesenian tersebut akan sangat kondusif ke depannya sebagai wadah komunikasi dan dialektika yang diharapkan di dalamnya mampu terjalin secara kontinyu agar dapat “mendudah” (membongkar) semua persoalan di tingkat lokal.
Langkah kerja nyata semacam itu diharapkan sebagai wujud dari kebijakan politik dan kebijakan kultural yang menuntut sinergitas dari warga kesenian dan Pemda setempat. Jika dikaitkan dengan wacana “geografis kultural Jombang”, maksudnya, pentingkah kesadaran berkebudayaan bagi warga Jombang jika dibayangkan itu ada dan berakar kuat? Apakah warga Jombang memerlukan itu sebagai pengerek dan penumbuh wacana atas berbagai hal yang terkait dengan watak dan identitas “manusia Jombang”? Barangkali ini berhubungan dengan adakah sejarah Kabupaten Jombang dianggap penting sebagai suatu “tetenger” bahwa mustahil “tlatah” Jombang lahir dari “sejarah yang kosong”. Atau sebaliknya, apa pun yang terkait dan yang pernah dimiliki Jombang: tak lain hanyalah omong kosong belaka.
Tentu, jika ini perlu dan menjadi bagian dari rasa memiliki warganya atas keberadaan kotanya, maka hal itu akan menjadi tanggung jawab bersama.Diadakannya semacam “Festival Kebudayaan Jombang”, atau yang lebih spesifik digelarnya semacam event seperti festival ludruk: berupa festival kidungan, festival tari remo, festival lawak ludruk, dan lain-lain. Kesemuanya itu tentu harus berpijak pada adanya perspektif yang jelas dan terencana untuk membentuk suatu rasa kebersamaan yang dilandaskan atas keprihatinan dan rasa syukur dari warga sebagai pemilik sah warisan seni budaya mereka. Bagi Ashadi Siregar, seorang budayawan dari Yogya, dalam tulisannya “Negara Berkebudayaan” (Kompas, 15 September 2004), menyebutkan bahwa: “Kebudayaan memang praktik warga sehari-hari. Namun, peranan penyelenggara negara sangat penting mengingat proses menyiapkan warga agar dapat berpraktik budaya (berbudaya) merupakan tugas utama negara. Makna kebudayaan yang pada hakikatnya mengandung nilai positif bagi kehidupan dikembangkan dalam tiga dimensi, yaitu keilmuan, etika, dan estetika. Dimensi keilmuan dilihat dari capaian-capaian pengetahuan dan teknologi, etika dengan penghayatan kebaikan universal dan multikultural dalam kehidupan nasional, serta estetika dengan apresiasi keindahan yang meningkatkan harkat kehidupan.”
Jika sekian hal tersebut dimafhumi lalu dimatangkan bersama, maka rumusan dan kajian tentang nilai-nilai “ke-Jombang-an” dan kesejarahannya dalam kaitannya dengan kehidupan kebudayaan, agama, filsafat, tradisi, dan karakter kebangsaan dan kenegaraan yang berporos pada karakter ke-Indonesia-an di masa mendatang diharapkan dapat terealisasikan.
Tentu, pencermatan atas sejumlah pokok gagasan dari beberapa perspektif di atas, perlu diuji dengan pertimbangan yang didasarkan dari aspek-aspek keilmuan dan bagaimana menarik simpul-simpul dari nilai-nilai etik-moral serta dari warisan tradisi Jombang. Dengan begitu, setiap individu, komunitas, LSM, maupun lembaga pemerintah, dapat bergerak secara bersama dan berkesinambungan demi tujuan tersebut. Semisal adanya Pusat Kajian Kebudayaan Jombang (PKKJ) sebagai radar-suar segala informasi terkait warisan tradisi apa saja yang dimiliki Jombang. Awalnya, lembaga ini boleh jadi tak bermanfaat apa-apa, ketika memang tak ada atau tak tahu bahan apa yang musti dikerjakan serta seberapa tangguh SDM pendukungnya.
Hanya pada keringat, pada ikhtiar penggalian pengalaman dari yang silam dan yang kini, lantas mematangkan gagasan-gagasan baru ke dalam suatu rencana kerja berkesenian dan berkebudayaan yang visioner. Bersedia mendengarkan. Bersikap terbuka. Dan tidak cuma cangkrukan di kantor tapi ngobrol bareng dengan siapa saja dan di mana saja. Pentingnya pertemuan antar seniman, peran nyata Dekajo (Dewan Kesenian Jombang), aparatur pemerintah, dan pegiat kesenian akan menjadi “spirit keguyuban” untuk melahirkan pemikiran-pemikiran baru dalam berkebudayaan yang progresif. Sebab semua perubahan tidak mletek begitu saja dari bumi dan dari sepetil mimpi.
-----
*Fahrudin Nasrulloh, koordinator Tim Pelestari dan Perlindungan Seni-Budaya Jombang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H