Sejak masuk ke area politik praksis, figur Anies Baswean memang dibaca berbeda. Sebelum itu, Anies dikenal luas sebagai Intelektual Muda, tokoh pendidikan yang menggagas gerakan Indonesia Mengajar, sampai dikenal sebagai tokoh literasi nasional. Bahkan ia pernah menjadi rektor Universitas Paramadina, sebuah kampus yang didirikan oleh Intelektual terkemuka, Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Nama Anies begitu berkibar dalam dunia pendidikan. Ia bahkan diprediksi menjadi salah satu dari 20 tokoh yang membawa perubahan dunia untuk 20 tahun mendatang oleh majalah Foresight yang terbit di Jepang.
Bermula dari keikutsertaannya dalam konvensi capres Partai Demokrat, Anies kemudian melibatkan dirinya untuk menjadi jubir kampanye Jokowi-JK. Banyak yang menyebut, keberpihakan Anies Baswedan ke kubu Jokowi-JK kala itu mengimbangi kekuatan kubu Prabowo-Hatta yang didukung oleh Mahfud MD.
Langkah Anies dinilai sungguh berani, sebagai seorang akademisi, karir akademiknya tentu bisa lebih gemilang. Katakanlah, tanpa harus berpolitik. Sebagaimana Cak Nur, Anies bisa lebih fokus dalam proliferasi gagasan pluralisme, menggagas gerakan berbasis komunitas yang lebih massif. Namun sepertinya Anies memilih jalan yang berbeda.
Sejak posisinya sebagai Mendikbud berakhir, Anies kemudian menerima pinangan Gerindra dan PKS untuk maju sebagai Cagub, didampingi Sandiaga Uno yang sudah jauh-jauh hari mendeklarasikan diri. Sebagaimana Anies, dalam bidang wirausaha, Sandiaga Uno termasuk salah satu figur yang diperhitungkan, apalagi usianya yang masih muda. Anies dan Sandi adalah dua figur cemerlang dibidangnya masing-masing, yang memilih untuk masuk dalam jalur politik praksis.
Kedekatan Anies Baswedan dengan Presiden PKS, Shohibul Iman, memang tidak bisa dipungkiri. Keduanya sama-sama pernah menjadi rektor Universitas Paramadina. Banyak yang menganggap, PKS lah yang menyokong Anies maju menjadi Cagub. Siapapun itu, setelah masuk politik, maka ia akan dibaca sedikit berbeda : penuh kepentingan, ambisius, transaksional, dan stigma-stigma lainnya.
Tidak peduli siapapun itu, apakah ia seorang akademisi atau wirausahawan. Bahkan tokoh agama pun bisa dibaca demikian. Dengan masuk politik praksis, Anies benar-benar mempertaruhkan dirinya. Ia sendiri sadar jika dunia politik jauh berbeda dengan dunia yang sebelumnya ia geluti, dunia pendidikan, dunia aktivisme yang penuh dengan puji-puji dan tepuk tangan.
Pergulatan Politik di Pilgub DKI Jakarta memang terkenal keras. Satu level dibawah pilpres. Lawannya pun juga berat, petahana, yang memiliki rekam jejak panjang dalam dunia Pemerintahan. Ahok yang pernah menjadi Bupati, juga Wagub, kemudian Gubernur. Juga, Djarot yang 10 tahun memimpin Kota Blitar dengan berbagai kegemilangannya. Dalam beberapa kali debat yang diadakan stasiun televisi, sering terlihat head to head keras antara Anies-Sandi dan Ahok-Djarot.
Disinilah wawasan akademik seorang akademisi, plus pengalaman praksis seorang pengusaha, dipertandingan oleh petahana yang tentu lebih menguasahi kondisi lapangan. Moment ini menarik. Banyak yang meragukan figur Anies Baswedan, bahkan sering kali netizen memberikan komentar negatif atas setiap yang ia utarakan. Katanya, terlalu banyak wacana, dan tidak terlalu punya data.
Meski Anies bukan orang pertama dari kalangan akademisi yang maju dalam kontestasi politik. Misalkan, ada Ridwan Kamil di Bandung. Akademisi, dosen, arsitek, yang kemudian menjadi walikota, dengan berbagai prestasinya. Meski spektrum Jakarta berbeda dengan Bandung, termasuk dengan kompleksitas yang terjadi.
Mau menang atau kalah, sebenarnya itu bukan menjadi soal. Meski pertaruhannya cukup besar. Anies mungkin memposisikan dirinya sebagai orang yang siap turun tangan, sebagaimana slogannya. Andaipun kalah, dan meski masih ada pilpres 2019, figur Anies jangan sampai direduksi sekedar sebagai politisi yang gagal. Namun kita harus ingat bahwa Anies termasuk salah satu intelektual yang sejalur dengan Cak Nur, arena politik mungkin bisa menjadi caranya menerjemahkan gagasan Cak Nur.