Mohon tunggu...
Ahmad Fahrizal Aziz
Ahmad Fahrizal Aziz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Blogger

Sekretaris GPMB Kab. Blitar, blog pribadi klik www.jurnalrasa.my.id

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Mary Jane, Tantangan Bagi Indonesia

5 Mei 2015   18:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:21 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika benar Mary Jane adalah korban human trafficking yang dmanfaatkan untuk menyelendupkan heroin oleh Sang perekrut, Maria Cristin Sergio, yang kemudian berbuah vonis hukuman mati. Maka hal yang sama, meski berbeda konteks, juga tengah dialami banyak TKI diluar negeri yang menunggu hukuman mati. Bagi sebagian publik yang memasang hastag #savemaryjane, penjahat sesungguhnya bukanlah Mary Jane. Ia hanya di korbankan. Dan saatnya lah, hukum memberikan keadilan.

Pemerintah pun, melalui Kemenlu, Kemenaker dan BNP2TKI juga berupaya keras untuk melakukan diplomasi kepada negara-negara lain, yang akan mengeksekusi mati para TKI. Tentu, Pemerintah tidak mau lagi kecolongan seperti kasus Karni dan Siti Zainab. Meskipun, ketika eksekusi mati dijalankan, muncul juga kritik kepada Pemerintah Arab Saudi yang dinilai tidak fair. Konon, ada sekitar 36 TKI yang juga tengah menanti eksekusi mati. Ini pulalah yang barangkali dirasakan publik Filipina kepada Pemerintah Indonesia, yang telah memvonis hukuman mati kepada Mary Jane.

Cerita pilu tenaga kerja sudah banyak tersiar sejak lama. Mulai dari yang dideportasi karena menjadi imigran gelap, disiksa oleh majikan, menjadi korban perbudakan hingga penjualan manusia. Indonesia, sebagai salah satu pemasok TKI keluar negeri, merasa menjadi obyek ketidak adilan itu selama bertahun-tahun. Terutama di dua negara destinasi terbesar para TKI, yaitu Malaysia dan Arab Saudi.

Tentu saja, tidak mungkin Karni dan Siti Zainab melakukan aksi pembunuhan, jika tidak terjadi sesuatu hal yang berkaitan dengan keadilan. Misal saja, kasus pembunuhan yang dilakukan Siti Zainab yang konon karena melakukan perlawanan atas penyiksaan dari sang majikan. Karena itulah, Siti dihukum pancung, tanpa melihat secara adil apa yang telah menimpanya. Jadi, nyawa di balas dengan nyawa, dan itulah hukum disana. Begitu pun dengan Karni yang menyembelih anak majikannya. Dahulu, juga muncul kasus Sumartini yang divonis moti karena melakukan sihir. Sisanya, hukuman mati dijatuhkan karena alasan berzina.

Apakah hukum hanya sebagai ajang balas dendam? Saya tidak tahu, karena saya bukan pakar hukum. Tapi setahu saya, hukum dibuat untuk menegakkan keadilan. Itu kata-kata yang saya kutip dari Prof. Mahfud MD, yang seorang pakar hukum tersohor di negara ini. Untuk itulah, jika ada satu kasus hukum terungkap, dan diproses secara adil, maka terungkapnya kasus hukum tersebut akan mampu menjelaskan dan memberikan putusan yang dirasa tidak memberatkan satu pihak saja.

Disatu sisi, kita tidak membenarkan pembunuhan sebagaimana kasus yang dialami Siti Zainab dan Karni. Namun disisi lain, kita juga menginginkan ada koreksi yang tegas atas putusan hukum tersebut. Baik dari dalam negeri, berupa payung hukum dan perlindungan para TKI, dan juga di negara-negara eksekutor yang telah mengambil nyawa para TKI tersebut. Kenapa TKI masih kerap mendapatkan siksaan dan ketidakadilan dari majikan? Karena senyatanya para majikan yang melakukan kekerasan tersebut tidak mendapatkan tekanan hukum dari Pemerintah setempat.

Pemerintah Arab Saudi, atau negara-negara lain yang melakukan vonis mati kepada TKI tersebut hanya melihat Terpidana sebagai orang bersalah, tapi jarang melihat kedalam betapa perlakukan warganya kepada TKI tersebut sangat tidak manusiawi. Jadi ibaratnya, ketika majikan menampar dan TKI tersebut balas menampar, maka hukum hanya akan memproses perlakukan TKI yang melakukan penamparan terhadap majikan. Untuk itulah, dimanapun, termasuk di Indonesia, hukum selalu tidak memuaskan.

Begitu pun dengan gelombang penolakan eksekusi mati para terpidana narkoba. Apakah dengan menolak hukuman mati tersebut, itu berarti mendukung kriminalitas? Tentu tidak sesederhana itu. Selain alasan HAM, tentu saja, para pengedar narkoba yang bisa masuk hingga mengedarkannya bahkan sebagian yang masih bisa menjalankan aksinya dibalik penjara, memiliki backup sekaligus kerjasama dengan para oknum terkait, yang itu bisa saja adalah aparat dan penegak hukum.

Ibarat sebuah pasar, selain ada penjual dan pembeli, juga ada yang membuat aturan tentang jual beli, jenis produk yang dijual, perlindungan hukum, dan aparat yang menjaga keamanan agar pasar tersebut menjalankan fungsinya dengan baik dan tidak melanggar peraturan yang ada. Apalagi, para produsen utama narkoba, kerap kali memanfaatkan orang-orang, yang entah karena kesulitan ekonomi atau tak memiliki wawasan yang baik, untuk menjadi kurir dan menyelundupkan produknya. Itulah yang menurut beberaa aktivis migran, tengah dialami oleh Mary Jane.

Apalagi, ketika misalkan para pelanggar itu sudah tertangkap dan dijebloskan penjara, namun masih bisa menjalankan bisnisnya, itu sangat nampak sekali lemahnya pengawasan terhadap para tahanan. Jadi, problemnya tidak hanya pada terpidana, tapi juga kelalaian aparat, dan kelalaian aparat itulah yang menyebabkan bisnis tersebut tetap berjalan. Apalagi, jika lalai-nya disengaja, alias melakukan kerjasama, itu lebih mengerikan lagi.

Logikanya sama saja dengan kasus korupsi, dimana terdakwa ternyata mengalirkan uang korupsinya ke rekening-rekening orang lain, artis, atau keluarganya, yang mereka tidak tahu kalau itu uang korupsi. Kalau mereka tidak mengembalikan uang itu bisa terseret dalam pasal TPPU (Tindak Pidana pencucian uang).

Kasus Mary Jane ini, jika benar-benar ditelusuri dengan seksama, bisa jadi akan membongkar kasus besar lain yang mungkin akan menguak keadilan baru. Lantas, apakah selama persidangan Mary Jane tidak pernah mengungkapkan bahwa dirinya hanya dijebak? Dan jikalau Mary Jane sudah mengungkapkan, akankah hakim tidak memperhitungkan keterangannya sebagai bukti baru untuk menyelidiki kejahatan lain semisal human traficking? Dan apakah vonis hukuman mati cukup argumentatif?

Sebelum Mary Jane diselamatkan oleh Negaranya, tentu ia harus diselamatkan terlebih dahulu oleh Indonesia. Ini adalah tantangan besar bagi Indonesia untuk menunjukkan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Sekaligus menunjukkan kepada dunia, terutama yang memiliki catatan hitam atas perlakuan hukum pada TKI. Mary Jane memang tidak bekerja di Indonesia, tapi semoga saja hukum di Indonesia mampu memberikannya keadilan dan mengungkap kejahatan lain.

Untung saja, Mary Jane belum sempat dieksekusi mati. Tapi kita tidak tahu sampai kapan penangguhan eksekusi mati tersebut akan diberlakukan. Jika pada akhirnya ia tetap di eksekusi mati, ya sudahlah, sepertinya memang sulit mencari keadilan untuk para buruh imigran. Jika hal yang sama dialami Indonesia atas TKI-nya, dan Indonesia meminta agar TKI-nya dilepaskan dari hukuman mati, maka kasus Mary Jane yang kadung di sorot oleh media International ini, akan menjadi cermin.

Kita berharap Mary Jane tidak di eksekusi mati, dan kedepan tidak ada lagi vonis hukuman mati. Memang tidak mudah menciptakan keadilan, tapi setidaknya Indonesia mampu menunjukkan pada dunia sebagai negara yang beradab, salah satunya dengan tidak secara sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Karena itulah yang tertulis dalam sila kedua. Wallohu’alam

Blitar, 4 Mei 2015

A Fahrizal Aziz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun