Setahun yang lalu, di bulan Ramadhan, saya diajak Mas Adam Muhammad (senior IMM Malang) untuk mengikuti Tadarus Pemikiran Kaum Muda Muhammadiyah. Acara itu diprakarsai oleh JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) dan disupport secara penuh oleh Universitas Muhammadiyah Malang. Acara dibuka langsung oleh Prof. Din Syamsudin, ketua Umum PP Muhammadiyah.
Pak Haedar Nashir datang mengisi Stadium General, bersanding dengan Hilman Lathif, Ph.D yang merupakan perwakilan dari JIMM. Acara tersebut dimoderatori langsung oleh Pradana Boy ZTF.
Di internal Muhammadiyah, dan terutama di kalangan aktivis IMM, nama Haedar Nashir sudah sangat dikenal. Beliau pernah menjadi sekretaris ketika Buya Syafii Ma’arif menjabat ketua Umum. Sejak masih pelajar, Pak Haedar sudah berkiprah di Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Beliau juga menjadi Pimpinan Redaksi Majalah Suara Muhammadiyah dan membuat banyak tulisan tentang Muhammadiyah. Bukunya yang berjudul “Muhammadiyah sebagai Gerakan Pembaharuan” menjadi salah satu karya yang sangat referensial.
Esai-esainya pun bisa dinikmati di rubrik “bingkai” Majalah Suara Muhammadiyah.
Muktamar ke-47 Muhammadiyah akhirnya memilih beliau sebagai ketua Umum periode 2015-2020. Dalam berbagai forum diskusi, nama beliau memang digadang-gadang bakal menggantikan Prof. Din Syamsudin. Selain Pak Haedar, nama lain yang diperbincangkan adalah Pak Abdul Mu’ti, Pak Syafiq A Mugni, dan Pak Yunahar Ilyas.
Meski Muktamar Muhammadiyah terlihat teduh, tapi dalam berbagai forum diskusi sempat terjadi dinamika tersendiri. Termasuk ketika Pak Haedar Nashir mengisi acara stadium general tersebut, terjadi dinamika diskusi yang tidak hanya berisi kritik, tapi sebagian juga semacam ‘menggugat’.
Seperti yang kita tahu, isu soal JIMM sempat ramai pada Muktamar di Malang 10 tahun silam. Bahkan, saat Pak Din Syamsudin terpilih menjadi ketua Umum, muncul rasa tidak puas dari anak-anak muda Muhammadiyah. Nama JIMM pun sempat diplesetkan dalam berbagai akronim yang menggelikan. Bahkan dalam bukunya, The Defender of Puritant Islam, Pradana Boy menyebut bahwa Muhammadiyah tengah mengalami pergulatan antara kaum konservatif dan Progresif.
Kemenangan Pak Din kala itu, dianggap representasi dari kekuatan kaum konservatif. Meskipun seiring berjalannya waktu, anggapan itu tidak selalu benar. Karena sebagai ketua Umum, Pak Din cenderung moderat. Bahkan Pak Din juga hadir membuka acara Tadarus JIMM tahun lalu.
Pak Haedar Nashir, dalam forum stadium general tersebut menanggapi dengan tenang beberapa keluhan dan juga gugatan anak-anak muda Muhammadiyah. Dengan retoris beliau berkata : Gagasan yang mana yang tidak bisa diterima Muhammadiyah sekarang?
Dibandingkan tiga ketua Umum sebelumnya, sosok Haedar Nashir memang cenderung ‘hening’. Misal, Pak Amien Rais yang begitu kritis terhadap rezim orba. Buya Syafii Maarif pun juga sangat kritis dalam beberapa aspek, tidak hanya soal keberagaman, tapi juga politik. Pak Din Syamsudin juga banyak berbicara di media dalam banyak hal.
Nama lain di Muhammadiyah yang juga sangat kritis menanggapi isu Sepilis (Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme), yang statementnya juga banyak dirujuk oleh Umat Islam di Indonesia adalah Pak Yunahar Ilyas. Karena disamping sebagai pengurus pusat Muhammadiyah, beliau juga salah satu ketua MUI. Pak Yunahar pun mendapatkan suara terbanyak kedua setelah Pak Haedar Nashir dalam pemilihan 13 formatur pada Muktamar ke 47 yang lalu.