Seorang bapak menggelandang anaknya dari sebuah warnet karena keseringan bermain game online. Kala itu sepulang sekolah, masih menggunakan seragam. Sang bapak merasa geram karena anaknya kecanduan game online. Hampir setiap hari, meski menurut panjaga warnet, bermainnya tak lebih dari dua jam.
Namun game online memang candu bagi anak-anak sekarang ini. Sebelum marak game online, pernah booming playstation/PS. Sebelum PS, pernah muncul video game, sebelumnya ada gamebot, dsj. Baru generasi 80 dan awal 90-an seperti saya, yang masih mengenal permainan tradisional.
Mainan tradisional semacam petak umpet, gobak sodor, sorokan, gedrik, dsj dulunya juga menjadi candu tersendiri. Biasanya, selepas pulang sekolah, berganti seragam langsung kumpul dengan teman-teman untuk bermain. Artinya, baik zaman dulu maupun sekarang, candu bermain bagi anak-anak itu tetap saja ada, cuma berbeda bentuk.
Beberapa orang tua yang hitech thinking, agar anaknya tidak bolak balik ke warnet, membelikan gadget sendiri, agar bermainnya tetap di rumah. Enaknya bermain game online, kita bisa bermain dengan banyak teman dari lokasi yang berjauhan, selama ada koneksi internet. Kalau anak-anak dahulu janjian bertemu disuatu tempat untuk bermain bersama, anak-anak sekarang janjian untuk bermain game online bersama di waktu-waktu tertentu.
Kalau bermain game dilihat dari perspektif anak-anak, sebenarnya sangat seru sekali. Bahkan mereka dengan antusiasnya menceritakan stage-stage yang sudah mereka lalui. Ada antusias, ada kebahagiaan, dan ada kenyamanan pada diri mereka.
Kecenderungan ‘candu game’ ini pun juga menjadi kekhawatiran sendiri bagi guru, orang tua, dan pemerhati pendidikan. Dimana anak-anak jadi kurang kemampuan kinestetiknya, padahal dari segi usia itu adalah kebutuhan fisiologis mereka. Namun hanya sekedar khawatir juga tidak akan menyelesaikan masalah, ada sekolah yang kemudian mewajibkan siswanya ikut satu dari sekian ekskul olahraga agar aktivitas fisik mereka tetap ada.
Ekskul olahraga, terutama sepak bola, basket, futsal, renang, dan baminton masih menjadi favorit untuk anak-anak. Setidaknya, saingan terberat bermain game online adalah olahraga. Anak-anak sangat antusias jika belajar outdorr, apalagi kalau ke kolam renang.
Maklum jika anak-anak kecanduan bermain, karena usia-usia mereka memang usia bermain. Termasuk bermain game online. Seperti bapak-bapak yang candu merokok, dan hampir-hampir tidak bisa (atau tidak mau dibantah) tentang bahaya rokok.
Jika anak-anak harus mengurangi candu mereka terhadap game online karena berbagai alasan kesehatan, sosial, dan psikologis. Bapak-bapak mestinya juga bisa mengurangi itu dengan alasan yang sama. Bermain game efeknya untuk pribadi, namun merokok efeknya bisa ke orang sekitar.
Keduanya adalah candu dari dua generasi yang berbeda. Ada persamaannya, sama-sama bersifat adiktif. Sama-sama memberikan kenikmatan dan kenyamanan. Seorang perokok berat akan merasa ganjil jika sehari tidak merokok. Bahkan harga rokok kadang lebih mahal dari harga warnet dan kuota internet.
Terkhusus bapak itu, boleh-boleh saja menyeret anaknya dari warnet dan menjadi tontonan banyak pengunjung warnet yang tidak semuanya bermain game. Tapi saya tahu betul betapa si bapak juga memiliki candunya sendiri, dan ketika diingatkan oleh orang sekitar agar mengurangi rokok, jawabnya : mau merokok atau tidak kalau saatnya mati yang akan mati.