Di penghujung tahun 1435 Hijriah, kita kehilangan satu sosok inspirasional-women ; Gayatri. Ia bukan anak pejabat, bukan pula anak pengusaha kaya raya yang mampu menyewa guru privat bahasa, bukan seorang akademisi bergelar tinggi. Tetapi fasih berbicara belasan bahasa, dengan paralingual yang memukau.
Sayang beribu sayang, kepergian Gayatri persis ketika bangsa Indonesia tengah merayakan euforia ; pergantian kepemimpinan. Dari SBY ke Jokowi. Agak seru jika menarik benang merah antara keduanya : Gayatri dan Jokowi. Mereka sama-sama tak terlahir dari rahim elite. Hidup sedehana, berproses dan menjadi entitas yang berharga.
Gayatri hidup dalam keluarga pas-pasan di Ambon. Konon, kemampuan bahasanya hasil otodidak. Ajaib. Beberapa orang menilai kecerdasannya adalah pemberian, hadiah, takdir dari Tuhan. Gayatri mendobrak simbol sosialek ; bahwa kecakapan bahasa bisa dimiliki siapapun, bukan hanya ahli linguistik atau mahasiswa hubungan internasional.
Pun dengan Jokowi. Awal tahun ini kita memiliki pemimpin yang juga merepresentasikan keajaiban. Minus perawakan, bukan darah bangsawan, atau titisan punakawan. Ia mampu mengalahkan sederet nama top, populis, berkelas, dan kaya raya. Lucu. Gayatri dan Jokowi seolah menjelaskan pada kita bahwa Tuhan masih menajamkan kuasanya untuk Indonesia.
Dalam ukuran normal, kita membayangkan betapa lamanya mempelajari 19 bahasa? Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar guru privat atau ikut kelas reguler? Pun dengan Jokowi. Betapa ia naik menjadi Presiden seperti melesat dengan kereta api supercepat. Dibandingkan rivalnya, Parbowo Subianto. Yang memulai misi menuju RI 1 sejak 2004, Bahkan mungkin sebelum itu. Jokowi, hanya dalam waktu kurang dari 10 bulan. Persiapan dengan perencanaan yang bisa dibilang minim.
Tetapi mereka seperti berjalan dalam rel kehidupan yang tak logis. Tak ikut aturan kurikulum dan kasta politik. Selain Gayatri dan Jokowi, mungkin masih banyak lagi. Yang ajaib. Yang untouchtable. Yang kita belum tahu.
Selamat jalan, Gayatri. Semoga kepergianmu mengajarkan kami banyak hal, dan semoga kami masih percaya dengan keajaiban, termasuk keajaiban agar bangsa ini bisa semakin maju. Meskipun setiap hari kita selalu di bombardir oleh hal-hal yang realistis, yang terukur secara jelas berdasar indeks pembangunan, tata kelola birokrasi dan pasungan ekonomi global.
Kami memulai awal tahun ini dengan pemimpin baru yang juga “ajaib”, semoga kelak muncul keajaiban-keajaiban baru, untuk tidak mau mengatakan pesimis. Semoga!
Blitar, 26 Oktober 2014
A Fahrizal Aziz (@fahrizalaziz22)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H