Tahun baru adalah momentum menarik untuk "menutup buku" lama dan membuka lembaran baru. Ada doa, harapan dan angan-angan, kita biasa menyebutnya resolusi.
Selain tahun baru, sebenarnya ada banyak moment serupa. Misalnya ketika masuk tanggal 1 tiap bulan, kadang kita merayakannya dengan ungkapan sederhana melalui snap atau story wa.
Momentum ulang tahun juga menjadi make a wish yang reflektif nan emosional. Bertambahnya usia mengingatkan jika hidup terus berjalan dan apa yang telah berubah dari kita?
Bagi seorang muslim, perubahan tahun Hijriyah juga perenungan untuk hijrah/moving on, termasuk momentum Idul Fitri yang kerap dimaknai "kembali suci".
Manusia selalu punya keinginan dan angan-angan, berharap selalu ada lembaran baru yang masih kosong dan akan terisi goresan hidup lebih baik.
Dalam perenungan yang dalam, tak jarang bulir bening membasahi pipi, me-recap betapa warna warninya satu tahun perjalanan waktu. Apa yang telah berlalu selama ini?
Meminjam istilah Carl Rogers, Psikolog Humanistik, apakah kita telah becoming a fully functioning person? Sepenuhnya menjadi manusia yang berguna?
Perenungan itu mungkin penting untuk "membaca" diri, suatu hal fundamental yang kerap kita lewatkan, bahwa menghargai diri mencakup dua aspek menurut Carl Roger: mensyukuri kelebihan dan menerima kekurangan.
Aspek pertama mungkin terlampau mudah dijalani, sebentuk apresiasi pun kerap mengalir karena itu, namun aspek kedua adalah pergolakan hati tersendiri.
Masa lalu tak jarang melahirkan trauma dan kesedihan, ingatan akan hal itu kadang menyakitkan, menyandera masa depan dan hal-hal yang belum terjadi.
Efek traumatik itu salah satunya disumbang oleh kekurangan diri sendiri. Itu bukan persoalan pelik andai kita tak menjadikannya bagian dari ekspektasi hidup.