Perpustakaan kini sudah berubah. Belakangan, kita sering mendengar istilah Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial. Perpustakaan tidak lagi sekadar ruang baca yang statis, namun dituntut untuk membuat program-program transformatif.
Paradigma lama harus dirubah, misalnya menganggap perpustakaan sebagai gudang buku, dan orang yang hobi membaca disebut kutu buku. Bayangkan ada kutu di dalam gudang.
Perpustakaan kini sudah inklusif, entah kenapa istilah ini dipakai, apakah selama ini eksklusif?
Namun yang pasti, perpustakaan kini sudah mengalami transformasi berbasis inklusi sosial. Kemaren (17/06) saat saya mengisi pelatihan menulis konten kreatif di Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Blitar, kepala dinas Herman Widodo menegaskan hal itu.
"Perpustakaan kini sudah berubah!" tegasnya, dalam sambutan pembukaan.
Lebih lanjut, beliau menerangkan bagaimana perpustakaan menjadi pusat belajar masyarakat, memberikan wawasan dan keahlian yang memiliki nilai ekonomi.
Dalam ruangan itu hadir perwakilan dari Perpustakaan Desa replikasi, artinya perpustakaan desa yang dianggap unggul dan bisa menjadi percontohan, salah satunya Perpustakaan desa Plosorejo, Kademangan yang baru terpilih menjadi Perpustakaan desa terbaik di Jawa Timur.
Program-program literasi
Literasi tidak hanya baca tulis, itupun yang saya yakini. Literasi adalah pencerahan. Sebelum terjun ke suatu bidang misalnya, orang harus tau apa bidang itu, bagaimana agar bisa berkembang di dalamnya. Dia harus punya dasar pemahaman pada bidang tersebut alias literasinya harus kuat.
Literasi tidak hanya membaca buku, namun membaca buku adalah bagian dari penguatan literasi. Karena dengan membaca, wawasan lebih luas, dan wawasan yang luas adalah pintu menguasahi keahlian tertentu.