Komunitas menulis tak hanya melahirkan penulis, meski di dalamnya penuh dengan agenda yang berkaitan dengan peningkatan skill menulis.
Di dalam komunitas, harus ada pengelolanya. Pengelola ini yang mempertahankan agar sebuah komunitas tetap eksis, mendesain beragam agenda, dan memastikan bahwa anggotanya sudah mendapatkan "asupan" yang tepat agar kemampuan menulisnya terus meningkat.
Ini bukan hal mudah, menjadi pengelola komunitas dan menjadi penulis adalah dua hal yang kadang berseberangan.
Menulis, kerap dianggap ruangnya kaum introver, kaum penyendiri, atau mereka yang lebih bersikap individualistis.
Sementara mengelola komunitas, harus punya kemampuan komunikasi, manajemen, administrasi dan sebagainya.
Artinya, mengelola komunitas butuh sosok pengayom, penggerak dan peduli. Butuh figur altruis. Sebab kalau direnungi, buat apa sih kita repot-repot bikin forum untuk orang lain? Kalau tidak karena peduli, mana mau?
Meski kadang-kadang itupun tak selalu mendapatkan respon yang baik.
Mending ya, bikin kursus menulis berbayar. Ada imbal balik, kan? Sekalian menjadikannya sebagai layanan jasa.
Di komunitas tidak demikian. Tidak ada bayaran, apalagi intensif. Sekadar secangkir kopi pun harus bayar sendiri. Belum lagi dengan seabrek kesibukan yang ia miliki.
Jadi, komunitas menulis tidak hanya melahirkan penulis, namun juga pejuang, sosok altruis yang peduli dan rela berkorban, setidaknya berbagi.