Saya kemudian mencoba mengambil data kualitatif, berbincang dengan para ketua OSIS dan ketua Ekstrakurikuler yang saya temui. Sebagian besar dari mereka memang tidak punya pacar. Namun itu hal biasa. Sebab dalam satu sekolah, yang pacaran dengan yang jomblo jelas lebih banyak yang jomblo.
Kejombloan menjadi mengerikan ketika ia tak memiliki kesibukan lain. Namun ternyata ini hanya berlaku pada usia-usia remaja atau dewasa awal. Pada usia-usia di atas 21 tahun, kesibukan yang mendera ternyata justru membuatnya semakin perlu pasangan hidup. Terutama perempuan.
Maka ada suatu ungkapan : ketika seorang perempuan mengeluhkan lelah pada pekerjaannya, itu berarti ia membutuhkan pendamping hidup.
Intinya, pacaran sehat mungkin akan sulit diterapkan pada usia remaja. Selain emosinya yang masih labil, kemampuan mengontrol dirinya juga masih lemah.
Barangkali lebih realistis diterapkan pada usia-usia jelang nikah, untuk pekerja profesional, yang memang sudah memiliki orientasi pada pernikahan.
Namun apakah istilah pacaran ini tepat? Sebab selama ini pacaran selalu identik dengan hal-hal negatif, sumber dosa, dan sebagainya.
Namun bagaimana jika pacaran diperuntukkan untuk saling mendukung sama lain, entah dalam hal pendidikan hingga karir, serta dalam memberikan suatu ruang untuk saling mengenal sebelum ke jenjang pernikahan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H