Menulis bukan aktivitas yang sepele. Menulis punya nilai intelektual disatu sisi, namun juga punya nilai spiritual. Apalagi, jika aktivitas menulis diniatkan sebagai ibadah.
Kata ibadah berasal dari bahasa arab yang berarti tunduk dan merendahkan diri. Dari segi istilah, ada banyak definisinya, salah satunya ialah segala aktivitas yang dicintai dan diridhoi Allah Swt, baik berupa ucapan dan perbuatan, yang zhahir maupun batin.
Jadi, ibadah ada yang bersifat qalbiyah (hati), lalu lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati), ada yang bersifat badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Sehingga, ibadah luas cakupannya, tidak saja yang diwajibkan seperti shalat, puasa, zakat, dsb. Namun juga aktivitas lain yang diridhai oleh Allah Swt.
Akan tetapi, dalam ibadah harus memiliki tiga prinsip : kecintaan (hubb), rasa takut (khauf), dan raja' (harapan).
Secara umum, itulah penjelasan ibadah dalam kitab Ath-Thariiq ilal Islam yang ditulis Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan aL-Ubudiyah karya Ibnu Taimiyah.
Ibadah ialah ketika apa yang kita kerjakan memunculkan suatu kesenangan atau kecintaan (hubb), namun tidak sebatas itu, harus muncul rasa takut terkait apakah kecintaan itu menjerumuskan kita pada dosa atau tidak. Berikutnya, harus memunculkan harapan (raja').
Begitupun dalam menulis. Pertama yang harus kita tumbuhkan adalah rasa cinta pada menulis, rasa cinta itu membuat apa yang kita lakukan terasa ringan dan bersemangat. Memang banyak yang berpendapat bahwa menulis pada awalnya harus dipaksa, namun alangkah baiknya jika dilakukan dengan penuh kecintaan agar bernilai ibadah.
Setelah itu harus muncul rasa takut (khauf). Takut jika tulisan yang dibuat justru menjerumuskan, atau tidak memberikan hal yang positif. Sehingga akan selalu hati-hati. Sebab tak sedikit tulisan yang justru menyebabkan permusuhan dan kerusakan, seperti berita hoax misalnya.
Selanjutnya adalah harapan (raja'). Tulisan yang kita hasilkan harus disertai harapan. Harapan agar memberikan manfaat bagi pembaca terutama. Harapan agar lewat tulisan tersebut, kehidupan menjadi lebih baik, bisa mendewasakan pembaca.
Dalam tulisan itu misalnya, kita membagikan pengalaman menjalani masa-masa hidup yang pahit, dan bagaimana bisa bangkit. Kita tidak akan tahu persis siapa saja yang membaca, dan siapa saja yang memetik manfaat.
Sangat mungkin tulisan yang menurut kita hanya sekedar curhat itu ternyata memotivasi banyak orang untuk bangkit dari keterpurukan. Apalagi di era sekarang ini ketika tulisan sangat mungkin dibaca banyak orang melalui bantuan sosial media seperti facebook, WAG, dan Twitter.