Wartawan kawakan, Rosihan Anwar, yang sering disebut guru-nya wartawan itu hanya lulusan SMA. Tetapi SMA di zaman Belanda, yang disebut AMS (Algemeene Middelbare School). Waktu itu, se-antero Hindia Belanda jumlah AMS hanya 7 buah.
Jadi bisa dibayangkan, betapa hanya orang-orang tertentu yang bisa mengakses pendidikan jenjang tersebut, itupun sebagian besar siswanya adalah anak Eropa dan Tionghoa.
Selain AMS, ada juga HBS. Hanya kalangan Belanda dan segelintir kaum priyayi saja yang bisa lanjut ke sana. HBS meringkas pendidikan SMP dan SMA. Salah satu alumni HBS ini adalah Soekarno.
Sekarang mari simak cerita saya tentang Pak Rosihan :
Belum lama saya "mengenal" Pak Rosihan. Waktu beliau berumur 88 tahun dan masih menulis catatan "napak tilas" ke Belanda, saya baru masuk perguruan tinggi di Malang.
Waktu di Aliyah, meski aktif di Ekstrakurikuler Jurnalistik, namun jika ditanya siapa Jurnalis favorit? Jawaban saya dan sebagian besar yang lain adalah Anchor atau jurnalis televisi, seperti yang terkenal waktu itu, Rosiana Silalahi yang masih di liputan6. Arif Suditomo, Aiman Wicaksono, dan Isyana Bagus Okka yang masih di Seputar Indonesia-RCTI.
Najwa Shihab belum populer, begitupun dengan Karni Ilyas, sekalipun sudah sangat senior. Sebab Karni Ilyas baru muncul di panggung akhir-akhir ini, setelah sekian lamanya berproses di balik layar.
Jarang dari kami mengenal nama Rosihan Anwar, BM. Diah, Mochtar Lubis, dan sederet nama lain yang juga tak kalah penting, sebagai wartawan yang menulis dalam beberapa zaman.
Kenapa sosok Rosihan Anwar begitu menarik bagi saya?
Dibanding Dahlan Iskan, Jacob Oetama, atau Goenawan Mohamad, yang wartawan sekaligus pengusaha/bahkan raja media, Rosihan tidak demikian.
Satu-satunya jabatan tertinggi di media adalah ketika memimpin harian Pedoman. Setelah itu, setelah pedoman diberedel orde baru, Rosihan tak lagi bergabung di media, namun terus menulis. Sebagai kontributor, kolomnis, juga aktif mendidik calon-calon wartawan, aktif dalam sejumlah proyek film bersama Usmar Ismail.