Mohon tunggu...
Ahmad Fahrizal Aziz
Ahmad Fahrizal Aziz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Blogger

Sekretaris GPMB Kab. Blitar, blog pribadi klik www.jurnalrasa.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Pak Djarot, Cawagub Ahok

11 Desember 2014   02:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:34 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama Pak Djarot Saiful Hidayat tentu sangat memorable bagi masyarakat kota Blitar. Pasalnya, jebolan Universitas Brawijaya dan UGM ini pernah menjadi Walikota Blitar selama 10 tahun, periode 2000-2010. Saya sendiri, mulai “mengenal” dan mendalami kepemimpinan beliau, ketika sekolah di MAN Kota Blitar. Meski domisili di Kabupaten, saya justru lebih akrab dengan pergaulan Kota. Nama Pak Djarot semakin santer diberitakan, karena kemungkinan beliau akan menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta, mendampingi Ahok.

Blitar adalah salah satu daerah yang sangat referensial di Indonesia. Selain karena Kota ini, dipilih oleh Soeharto sebagai tempat pemakaman Presiden pertama RI, banyak juga tokoh nasional yang punya napak tilas di Kota ini. Seperti Soeprijadi, pemimpin laskar PETA. Megawati Soekarno Putri, Presiden RI ke-5, dan terbaru adalah Prof. Boediono, mantan wakil Presiden.

Hampir semua tokoh politik, pernah singgah ke Kota ini, meski hanya sekedar ziarah ke Makam Bung Karno. Termasuk Jokowi dan Prabowo yang beberapa bulan sebelum Pilpres, juga menjadi salah satu touris domestik di Kota ini.

Kota Blitar termasuk kota kecil, yang hanya memiliki tiga kecamatan. Tak ada kemacetan di Kota ini, kecuali kalau moment tahun baru dan acara karnaval. Tak ada mall atau tempat nongkrong elite semacam Hughos cafe. Tak ada kampus-kampus megah seperti di Malang (kota tetangganya), ataupun pabrik-pabrik industri seperti di Gresik dan Surabaya. Jika anda berkunjung ke Blitar, maka tak ada pusat keramaian yang bisa anda temui, kecuali di pasar tradisional.

Beberapa waktu lalu, situs tempo.co merilis berita yang memunculkan statement Walikota sekarang, Pak Samanhudi Anwar. Beliau mengatakan kepemimpinan Pak Djarot sangat buruk, pidato ‘keberhasilannya sebagai kepala daerah’ hanya bualan. Statement sinis itulah yang membuat saya berfikir mendalam. Apa benar? Dan kenapa selevel Walikota Blitar dan bahkan satu partai dengan Pak Djarot, mengeluarkan statement seperti itu?

Saya memang tak punya data BPS soal kemiskinan di Kota Blitar. Tapi, setahu saya, Pak Djarot sudah sangat konsisten dalam ekonomi kerakyatan. Misalkan, berulang kali beliau menolak ijin pendirian mal. Para PKL diberi ruang khusus di seputar alun-alun, pasar tradisional di hidupkan bahkan dibangunkan gedung yang representatif, yang bernama pasar legi. Di era Pak Djarot pula, susah sekali kita menemukan Indomaret dan Alfamart, atau pun tempat nongkrong berupa cafe-cafe. Hal yang berbeda dengan sekarang ini, meski Kota Blitar masih belum memiliki Mal, akan tetapi sudah banyak minimarket atau cafe-cafe mewah.

Di era Pak Djarot, tak ada tanda-tanda signifikan bahwa Blitar akan menjadi Kota Metropolitan, tak ada denyut modernitas yang nampak. Kalau kami –para pelajar—ingin mencari tempat nongkrong untuk sekedar sharing atau belajar kelompok, tak pernah terbersit pikiran bahwa kami akan nongkrong di cafe. Yang ada hanya perpustakaan Bung Karno, Perpustakaan Manca, atau taman kota Bonrojo. Begitupun bagi orang tua yang hendak berbelanja, tak pernah terbesit angan untuk berbelanja ke Giant, carrefour, ataupun Indomaret. Yang ada adalah pasar legi, pasar templek, pasar pon atau pedagang sayur keliling.

Kalau malam mingguan tiba, paling-paling kami anak muda hanya nongkrong di alun-alun, makan malam di warung-warung tenda, paling banter nonton pertunjukan musik, itu pun jarang sekali.

Kadang kami sedih juga, kenapa Blitar begitu sepi –seperti kota mati. Bahkan dibandingkan kota tetangganya, Kediri. Yang sudah nampak modernitas dimana-mana. Ada mal, bioskop, dan sekolah akper yang menjadi rujukan banyak pelajar. Ada perusahaan rokok besar yang membantu pendapatan daerah.

Akhirnya, pada suatu kesempatan, saya bisa mendengarkan penjelasan langsung dari Pak Djarot soal alasan Blitar menjadi kota “sepi” tersebut. Kala itu juga ada Wakil beliau, Pak Endro Hermono. Tapi saya lupa apa nama acaranya. Pak Djarot menjelaskan kurang lebih begini :

Saya memang sengaja menjauhkan kota ini dari kehidupan metropolitan. Saya menolak membangun mal atau gedung-gedung pencakar langit. Saya ingin menghindarkan generasi muda, dari sifat hedonisme dan konsumerisme. Saya lebih bangga kalau kota ini dipadati pedagang kaki lima dan pasar tradisional.

Bahkan, Pak Djarot sempat memunculkan ide tentang pendirian mal yang isinya pedagang kaki lima. Hanya saja, apakah itu sekedar isu atau memang masuk program, saya sudah lupa. Apalagi, waktu mengikuti acara tersebut, seingat saya masih kelas 2 SMA, masih belum matang untuk mencerna statement ataupun sebuah kebijakan.

Selain itu, di waktu senggang, saya sering mendengarkan acara Lang Lang Kota yang disiarkan oleh Radio Mayangkara setiap saat. Di acara tersebut, banyak warga yang menyampaikan aspirasinya, entah itu tanggapan atas kebijakan publik, protes, atau pujian. Yang saya ingat, kritik terbanyak justru ditujukan ke pemerintah Kabupaten, bukan Kota. Dan beberapa kali saya mendengarkan perbedaan signifikan pelayanan kota dan Kabupaten. Banyak yang memuji pelayanan di Kota.

Saya dan teman-teman Jurnalistik MAN Kota Blitar, dalam sebuah kesempatan pernah meliput acara karnaval. Start-nya di selatan alun-alun kota Blitar, atau di depan kantor walikota. Kami bergerombol. Kala itu, saya hanya mendampingi reporter majalah sekolah yang rata-rata masih kelas 1. Kami memarkirkan diri di depan gerbang, Pak Djarot duduk di podium yang tersedia.

Dengar-dengar, Pak Djarot orangnya enakan. Bahasa birokrasinya, tak terlalu protokoler. Kami, berbekal catatan lusuh, rekaman ala kadarnya, dan kamera digital pinjaman, menyerbu beliau ketika berjalan kembali ke kantor walikota. Kami berdesak-desakan dengan para wartawan sungguhan. Dan memang benar, tak ada pengawal khusus. Tak ada sekuriti yang mencoba menghalau kami. Pak Djarot benar-benar masuk dalam kerumunan orang-orang. Tak ada instruksi untuk memberikan jalan, layaknya pejabat lain.

Sampai di halaman kantor walikota yang agak longgar, Pak Djarot menjawab pertanyaan para wartawan dengan sabar, termasuk wartawan amatiran dari kami, yang masih berseragam kuning-kuning (seragam khas MAN Kota Blitar). Bahkan ada salah seorang dari kami nyeletuk “Pak foto bareng ya..” Pak Djarot memenuhi permintaan kami dengan senang dan kami memanggil pasukan –yang jumlahnya sekitar 13-an anak (kalau tak salah)—dan kami berfoto dengan pose yang tak beraturan. Setelah itu kami bersalaman satu-satu.

Kejadian tersebut sekitar tahun 2007. Sayang, file foto tersebut tidak terlacak bersamaan dengan rusaknya komputer ekstrakurikuler. Dan kala itu, flashdisk pun masih menjadi barang langka. Seingat saya, saya pernah mengupload foto-foto itu di friendster, tapi sekarang friendster sudah berubah akses.

Sejak nama Pak Djarot menyeruak sebagai calon terkuat DKI 2. Ada rasa optimisme dalam diri saya. Bukan karena beliau pernah menjabat sebagai walikota Blitar. Tapi diluar itu, Pak Djarot bisa mengusung nilai-nilai “kerakyatan” dalam kepemimpinannya nanti. Terutama keberpihakan kepada masyarakat menengah ke bawah, para pedagang di pasar tradisional, PKL, maupun UKM lainnya. Ikut merekonstruksi Jakarta dari kota yang keras, menjadi lebih manusiawi. Meskipun kita menyadari, Blitar jauh berbeda dengan Jakarta.

Blitar kota kecil, tenang, dan adem ayem. Sementara Jakarta, adalah kota yang selalu bergejolak. Ledakan penduduknya, banjir setiap tahunnya, macet setiap harinya, hingga hal-hal lain seperti ledakan budaya, modernitas, pergaulan, dan macam-macamnya.

Seperti Jokowi yang sukses mengelola Solo. Pak Djarot agaknya juga tak kalah. Bahkan tuntas 2 periode, dengan prestasi yang menurut saya tak kalah dibanding Jokowi. Hanya saja kurang begitu di sorot media. Bahkan andai boleh maju lagi untuk periode ketiga, Pak Djarot kemungkinan besar akan terpilih kembali.

Kini, setelah Jokowi, Mantan Walikota Solo naik menjadi Presiden, dan tampuk kepemimpinan DKI di ambil alih Ahok, yang juga mantan Bupati belitung timur, Pak Djarot pun akan masuk gelanggang pula. Jakarta akan dipimpin dan dikelola oleh mantan kepala daerah dari Kota-kota kecil. Bedanya, kalau Jokowi backgrounnya adalah pengusaha yang kemudian menjadi Birokrat. Dan Ahok yang Birokrat murni, Pak Djarot justru awalnya adalah akademisi, dosen di Surabaya, bahkan pernah mejabat pembantu rektor. S1 dari Universitas Brawijaya dan s2 dari Universitas Gadjah Mada.

Dulu, waktu Pak Djarot masih mejabat sebagai walikota Blitar, saat berkunjung ke Kota lain seperti Malang, Surabaya, Bandung, hingga Yogyakarta. Saya baru bisa merasakan bagaimana kami –pelajar kota Blitar—benar-benar merasa terprotect dari dunia luar. Mal, food court, cafe-cafe, serasa tempat yang asing. Meski ada sebagian yang menyambut euforia karena berjumpa modernitas tersebut. Tapi lambat laun, saya jadi memahami bahwa pusat modernitas itu turut serta dalam merubah pola perilaku masyarakat, adanya akulturasi bahkan asimilasi budaya barat (western).

Dan saya pribadi, jadi merindukan kota Blitar, setiap kali merasa jengah dengan pergeseran budaya di kota-kota metropolis, yang dalam literature antropologi, sering disebut cultural shock. Pak Djarot, selama 10 tahun berusaha menjaga nilai-nilai budaya tersebut, dan secara pribadi itu cukup membekas dalam diri saya.

Meskipun –sekali lagi—Jakarta sangat jauh berbeda dengan Blitar, tapi setidaknya ada nilai-nilai kerakyatan yang bisa diperjuangan Pak Djarot, sebagaimana yang dulu diterapkan di Blitar. Tentunya, dengan konteks dan kemasan yang berbeda. Selamat bertugas, Pak Djarot.

Tulisan ini hanya sebatas kesan personal, yang mungkin agak subyektif tentang sosok beliau.

Blitar, 10 Desember 2014

A Fahrizal Aziz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun