Oleh: Fahrizal Mukhdar
Gegap gempita pemilu 2014 ini merupakan wujud dari sebuah demokrasi yang patut kita syukuri, namun sekaligus patut kita waspadai. Kita patut syukuri, sebab kebebasan yang menyemarak di Tanah Air ini membawa itikad baik demi keberlangsungan bangsa dengan mengakui akan adanya hak-hak rakyat dalam peran aktifnya berkontribusi untuk masa depan bangsa. Namun di sisi lain, kita juga harus waspada, proses demokrasi ini ketika tidak dikawal dan dihayati sebagai sebuah demokrasi yang berwawasan Pancasila, ia akan berbalik menyerang sendi-sendi demokrasi itu sendiri serta mengancam kebhinnekaan kita. Dan potensi mengancam ini sudah mulai kita rasakan seiring semakin dekatnya tanggal 22 Juli. Nafas-nafas yang berpotensi mengancam itu terus-menerus dienduskan di masyarakat kita.
Memang tak dapat pungkiri, kenyataan kampanye gelap di masa kampanye lalu begitu menjadi tren di antara masyarakat. Terlepas dari kelompok atau oknum mana saja yang bertanggung jawab atas itu, sedikit banyaknya ini awal kali potensi ancaman yang memantik api kecil fanatisme simpatisan masing-masing calon presiden yang lambat laun kian membesar. Peristiwa ini begitu menusuk dan tak terelakkan. Sebab penyebarannya menjadi begitu efektif di dalam genggaman setiap orang melalui sms dan media sosial. Hampir setiap hari, pesan berantai masuk dengan membeberkan berita yang menjatuhkan satu sama lain antara kedua calon presiden. Meskipun kedua pihak selalu menggalakkan slogan kampanye yang sportif, nampaknya itu tidak berpengaruh, terlebih para pelaku kampanye itu sendiri tidak henti-hentinya bermanufer saling menjelek-jelekkan satu sama lain. Fanatisasi sejak saat itu berlangsung dan semakin menjurus pada tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan bangsa Pancasila.
Di samping itu, eksistensi quick count pasca pemungutan suara semakin menjadi pendorong kekisruhan antar kelompok simpatisan. Sebab hasil survei setiap lembaga survei begitu kontras dan membingungkan. Quick count yang sejatinya berfungsi sebagai pembanding dan pengontrol kinerja KPU dalam penghitungan hasil pemungutan suara, kini malah memunculkan kebingungan publik dan seolah-olah berfungsi sebagai alat propaganda. Jelas ini memunculkan keresahan. Ditambah lagi masing-masing pihak capres, berdasarkan hasil quick count yang kontras tadi, berani mengklaim kemenangannya. Betapa kisruhnya suasana antar calon presiden dan simpatisannya gara-gara ini. Di sisi akan memunculkan sikap fanatisme yang berlebihan, bagi pihak yang kalah ini akan berpotensi sebagai pendorong terjadinya aksi fisik akibat tidak terima dengan keputusan KPU.
Bukannya tidak mengapresiasi usaha lembaga survei dalam merilis hasil surveinya. Namun, kenyataan kontras dari hasil setiap lembaga yang mengadakan survei ini semakin kentara seolah dipergunakan sebagai alat propaganda. Ini terlihat dari pernyataan—yang menurut saya—arogan dan propokatif dari salah satu pihak lembaga survei, yakni jika hasil penghitungan KPU tidak sesuai dengan hasil survei mereka, maka berarti KPU melakukan kecurangan. Jika seperti ini hasilnya, eksistensi quick count pada pemilu 2014 ini perlu dipertanyakan. Ia ada untuk kepentingan rakyat, ataukah untuk kepentingan kemenangan salah satu calon presiden?
Tak lepas mengecewakan dan memprihatinkan, media massa yang seharusnya berperan netral dan mencerdaskan dalam memberitakan seputar pemilu seolah lupa daratan. Ujung tombak demokrasi bangsa ini bahkan tidak sedikit yang nyata-nyata memberitakan fakta-fakta pemilu secara tidak berimbang dan cenderung propokatif. Apakah ini mencerminkan demokrasi yang seharusnya ada di bangsa kita?
Banyak realita di atas merupakan praktik-praktik yang sungguh sangat mengancam demokrasi bangsa dan Pancasila. Sebagai bangsa yang satu dalam NKRI, praktik-praktik tersebut juga telah membuka jarak dan sekat antara simpatisan capres 1 dan 2 akibat fanatisme simpatisan masing-masing capres. Praktik-praktik tersebut, secara nyata telah menggambarkan bahwa pihak-pihak yang terkait hal itu telah mencampakkan Pancasila. Tak ada lagi nilai-nilai ketuhanan di sana. Pun dengan prinsip demokrasi Pancasila yang mengedepankan pribadi berkarakter berketuhanan dan selalu berorientasi pada sikap-sikap yang bermoral ketuhanan.
Para pendiri bangsa tidak menginginkan hal ini terjadi. Sudah seharusnyalah Pancasila kita internalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap-sikap yang telah disebutkan di atas mestinya tidak terjadi jika saja nilai-nilai Pancasila benar-benar telah terinternalisasi dalam diri kita sebagai bangsa. Sikap yang seperti di atas sejatinya merupakan pelanggaran terhadap norma-norma ketuhanan yang mengutamakan nilai kemanusiaan, persatuan, dan kedamaian.
Kita juga harus menyadari, prinsip ideologi bangsa ini tidaklah mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara. Prinsip kita adalah prinsip musyawarah, penghargaan terhadap setiap perbedaan, bersikap berasaskan nilai ketuhanan, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan persatuan Indonesia. Apapun tindakan yang kita lakukan jika berdasarkan nilai kepancasilaan, maka yang menjadi orientasi adalah perdamian abadi. Jika pemilu 2014 ini tidak kita sikapi dengan nilai-nilai ideologi bangsa ini, maka PEMILU 2014 MERUPAKAN ANCAMAN BESAR KEBANGSAAN DAN PANCASILA.
Malang, 17 Juli 2014
NB: Tulisan ini juga saya publikasikan di www.fahrizalmukhdar.web.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H