Mohon tunggu...
Fahrizal Rahman
Fahrizal Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Universitas Trunojoyo Madura

Departemen Peningkatan Sumber Daya Manusia dan Kreativitas PC. ISHARI NU Bangkalan

Selanjutnya

Tutup

Seni

Sejarah perjalanan dan Perkembangan ISHARI NU

2 Januari 2025   21:35 Diperbarui: 2 Januari 2025   21:44 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi ( Ishari Banyualet Era Dulu )

Jika kita berbicara tentang seni dalam Islam, Hadrah ISHARI NU adalah salah satu warisan yang tidak hanya menarik untuk ditelisik, tetapi juga memiliki kedalaman makna spiritual. Tradisi ini bukan sekadar lantunan sholawat, tetapi sebuah perjalanan panjang yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, menyatukan budaya, agama, dan seni dalam harmoni yang indah.

     Awalnya, ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Indonesia) tumbuh dari dedikasi seorang ulama besar, Al Habib Syech bin Ahmad bin Abdulloh bin Ali Bafaqih, yang membawa tradisi Mahabbaturrosul ke tanah Jawa pada abad ke-19. Beliau tidak hanya memperkenalkan bacaan sholawat, tetapi juga menanamkan nilai-nilai cinta kepada Rasulullah SAW melalui seni. Ini bukan hanya tradisi, tetapi bentuk ekspresi cinta yang dihidupkan bersama-sama oleh masyarakat, tanpa perbedaan.

     Setelah wafatnya Habib Syech pada tahun 1888 M, tradisi ini tidak mati. Sebaliknya, ia hidup melalui murid-murid beliau yang setia melanjutkan perjuangannya. Nama-nama seperti Habib Abdulloh Bafaqih, KH. Abdurrohman, dan Syech Abdurrohman Al Baweani adalah bagian dari mata rantai keilmuan ini. Hingga akhirnya, pada generasi berikutnya, Syech Abdurrohim bin Abdul Hadi meramu sholawat dalam Kitab Diwan Hadrah dengan Maulid Syaroful Anam, membentuk format Hadrah ISHARI yang terus lestari hingga hari ini.

     Namun, ISHARI bukan hanya tentang melantunkan pujian. Lebih dari itu, ia adalah sebuah gerakan seni dan budaya yang diorganisasi secara serius. Pada tahun 1959, para ulama Nahdlatul Ulama (NU) melihat potensi besar dalam tradisi ini dan mulai membentuk struktur organisasi yang lebih rapi. Dengan dukungan tokoh besar seperti KH. Abdul Wahab Hasbullah, ISHARI menjadi lebih dari sekadar kelompok seni; ia menjadi wadah spiritual dan kultural yang mendalam.

     Pada titik ini, perjalanan ISHARI mulai menarik. Di tengah transformasi menjadi organisasi resmi, ISHARI tidak selalu berjalan mulus. Ia mengalami perubahan status, dari badan otonom NU hingga sempat berada di bawah Lembaga Seni Budaya NU (LSB NU) dan Lembaga Thariqah An Nahdliyyah (LTMN). Namun, seperti sebuah pohon yang akarnya kokoh, ISHARI tetap bertahan. Pada Muktamar NU ke-33 tahun 2015, ISHARI akhirnya kembali ditetapkan sebagai Badan Otonom NU, mempertegas peran pentingnya di dalam tubuh organisasi ini.

     Keputusan pada Muktamar NU ke-33 tahun 2015 merupakan angin segar bagi para anggota dan simpatisan ISHARI. Dalam forum yang dilaksanakan pada 1-5 Agustus 2015 tersebut, ISHARI kembali diakui sebagai Badan Otonom NU. Hal ini mempertegas eksistensi ISHARI sebagai wadah seni Islami yang mendukung visi dan misi Nahdlatul Ulama dalam melestarikan tradisi keagamaan yang berakar pada budaya lokal.

     Perkembangan ini diikuti dengan MUNAS ISHARI ke-2 yang dilaksanakan pada 20-22 Oktober 2017 di Pondok Pesantren Minhajul Abidin, Jombang. Dalam forum tersebut, para pengurus dan anggota ISHARI dari berbagai daerah berkumpul untuk membahas berbagai isu strategis, termasuk pembaruan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi. MUNAS ini menjadi momentum penting untuk menguatkan peran ISHARI di tengah dinamika zaman yang terus berubah.

     Selanjutnya, pada Muktamar ke-34 yang diselenggarakan pada 23-25 Desember 2021, ISHARI tetap dipertahankan sebagai Badan Otonom NU. Keputusan ini menjadi bukti bahwa ISHARI tetap relevan di tengah perkembangan organisasi dan tantangan zaman. Dengan statusnya sebagai Badan Otonom, ISHARI terus berkomitmen untuk menjaga tradisi Hadrah sebagai sarana spiritual dan kultural yang memperkuat nilai-nilai keislaman di tengah masyarakat.

     Lalu, apa yang membuat ISHARI tetap relevan? Jawabannya mungkin terletak pada kemampuannya untuk tetap menjadi jembatan antara seni dan spiritualitas. Dalam setiap lantunan sholawat dan setiap irama hadroh, ada pesan cinta, ada semangat kebersamaan, dan ada doa yang mengalir. Inilah yang membuat ISHARI lebih dari sekadar warisan budaya; ia adalah energi yang menghidupkan ruh keislaman dalam bentuk yang menyentuh hati.

     Kini, ISHARI NU bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi juga wajah Islam yang lembut dan penuh seni. Dalam setiap kegiatannya, ISHARI menunjukkan bahwa Islam tidak hanya berbicara tentang ritual, tetapi juga tentang keindahan, harmoni, dan cinta. Tradisi ini mengingatkan kita bahwa seni bisa menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, sekaligus memperkuat ikatan sosial di antara umat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun