Kehidupan pasca mengenyam pendidikan di bangku sekolah atau bangku kuliah selalu terasa baru. Kita seakan-akan menggunakan kacamata baru dalam melihat dunia. Pertanyaan reflektif seperti; kemana aku setelah ini, dimana tempat yang harus aku datangi, mau jadi apa aku ini, terus menerus terngiang di setiap waktu-waktu jeda rutinitas.
Setiap dari kita pun pasti memiliki cita-cita, mimpi, dan harapan. Bahkan semenjak kecil, kita diajarkan dan diarahkan agar memiliki cita-cita. Sialnya, semakin dewasa terkadang ekspektasi itu tak sesuai dengan realita yang ada, atau seminim-minimnya tak semudah yang dulu waktu kecil kita bayangkan. Kecuali memang kita punya privilege lebih. Begitulah hidup, dinamis, terus berjalan, dan terus berubah.
Misalnya, cita-citaku dulu semasa kecil adalah ingin menjadi power ranger, beranjak masuk SD berubah jadi pemain sepak bola, lanjut masuk SMP ingin jadi pilot atau guru sejarah, masuk STM ingin jadi seorang arsitek, lalu masuk kuliah ingin jadi seorang pengusaha. Lalu, setelah kuliah selesai pun cita-cita itu ternyata masih bisa berubah. Apakah prinsipku tidak kuat pada satu tujuan tertentu? Bisa iya, bisa mungkin, atau bisa juga tidak. Yang jelas, aku percaya bahwa semesta lebih tahu apa yang aku butuhkan dan semesta lebih paham dimana aku harus bergerak.
Seorang temanku pun pernah bercerita tentang cita-citanya. Kita memiliki sedikit kesamaan, pada perubahan cita-cita itu. Sampai dimana temanku berkata "cita-citaku terus berubah, tapi aku pastikan bahwa saat ini aku hanya memiliki satu cita-cita saja, yaitu menjadi manusia yang bermanfaat". Sontak, aku termenung dan mencoba meresapi kalimatnya lebih dalam. Bahwa ternyata bukan tentang profesi yang tersemat, bukan tentang jabatan glamor yang didapat, bukan tentang gaji besar yang prestisius, bukan tentang tempat bekerja elit. Tapi tentang kebermanfaatan. Tentang makna hidup dalam kebersamaan yang harmoni antar makhluk. Itulah yang menjadikan apapun cita-cita kita menjadi mulia dan memiliki nilai.
Saat ini, kehidupan pasca kuliah begitu menguji ketahanan mental diri sendiri. Jelas, aku tak akan menyalahkan siapapun. Pun, aku juga tak akan memaksakan apapun. Aku hanya sedang berjalan menikmati setiap proses, menyesuaikan diri di fase transisi, dan menyiapkan berbagai opsi yang sekiranya aku mampu untuk mencobanya. Aku percaya, selagi aku hidup, segala bentuk peluang kesuksesan itu akan terus hidup juga.
Hanya saja, kegelisahan itu semakin menguat ketika tersadar lawanku adalah waktu. Mau tidak mau, aku harus terus berpacu dengannya.
Ya, hidup pun selain tentang perjuangan, disisi yang lain juga ternyata tentang pertaruhan.
Semangat dan sehat selalu, kita semua!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI