Hari ini mungkin kita sedang senang, tetapi besok atau bahkan pada masa kesekian detik selanjutnya bisa saja kita sedih. Hari ini kita sedang berkecukupan, besok atau lusa mungkin kita akan merasakan ujian berupa kesengsaraan. Hari ini kita menikmati fasilitas-fasilitas yang diberikan-Nya, besok belum tentu. Semuanya terus berputar, semuanya diatur dengan begitu harmoni oleh semesta raya.
Tak perlu terlalu larut dalam kesedihan, juga tak perlu terlalu hanyut dalam euforia kesenangan. Secukupnya saja, sewajarnya. Sebab, semua ini pasti akan berlalu. Hidup di dunia ini adalah tentang kesementaraan. Tidak ada yang abadi. Apa-apa yang dititipkan-Nya kepada kita, sewaktu-waktu akan diambil kembali oleh sang pemilik sejati. Karena pada dasarnya kita adalah tamu. Tamu yang tak pernah memiliki apapun. Datang tak membawa apa-apa, pun pulang tak membawa apa-apa.
Rasa kepemilikan dan rasa kemelekatan terhadap berbagai 'titipan' itu yang terkadang membuat kita takut, gelisah, khawatir, dan kecewa. Perasaan takut kehilangan. Takut tidak mendapatkan 'titipan' (materialistik) lain yang diidam-idamkan. Apakah layak kita takut terhadap status kepemilikan itu? Tidakkah lebih pantas jika ketakutan itu hadir ketika kita tidak mampu memanfaatkan titipan itu sebaik-baiknya? Karena sejatinya segala titipan itu akan kita pertanggung jawabkan kelak.
Hidup adalah perjalanan, perjalanan dari fase ke fase. Setiap fasenya akan memberikan kita pelajaran-pelajaran baru dan pengalaman-pengalaman baru yang akan semakin meningkatkan kualitas diri kita dalam menjalani kehidupan. Hidup itu serangkaian transisi dari kesadaran satu ke kesadaran lainnya. Pada akhirnya, kita diminta untuk terus mawas diri. Melakukan perenungan kembali atas hidup kita sendiri. Karena hidup yang tidak direnungi, tidaklah layak untuk dijalani.
Jadi tenang saja, secukupnya, sewajarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H