Mahasiswa baru seringkali hanya dipandang sebagai objek doktrinasi demi memuluskan kepentingan kating-katingnya. Doktrin yang dihadirkan tentu beragam, tergantung siapa yang menyampaikannya. Tak jarang banyak hal yang kemudian kontradiktif. Sesuatu yang buruk seakan-akan dinormalisasi, pun sebaliknya, sesuatu yang baik seakan-akan tersingkir dan terdiskriminasi.
Sangat disayangkan ketika ada kating yang alih-alih berperan memberikan arahan positif untuk perkembangan maba, justru memberikan pandangan-pandangan sempit yang bersifat subjektif untuk dikonsumsi maba. Alhasil, tak sedikit maba yang kemudian mengikuti arahan katingnya tanpa ditimang-timang terlebih dahulu. Maba yang seharusnya memiliki kesempatan dan kebebasan dalam mengeksplorasi diri, akhirnya terkekang oleh arahan dan doktrinasi kating yang jelas akan membatasi. Pada akhirnya hal ini lambat laun akan menjadi tradisi, menjadi siklus yang terus berputar dari generasi ke generasi. Alih-alih muncul budaya kritis, malah hanya ada kekolotan yang justru terus ditradisikan.
Sampai pada akhirnya, lambat laun para mantan maba itu akan menemukan titik sadar betapa ruginya mereka terkekang oleh arahan  katingnya. Betapa ruginya mereka tak memilih untuk menjadi diri sendiri dalam tumbuh berproses selama masa kuliah. Betapa piciknya motif para pendoktrin-pendoktrin handal dalam mengemas cerita-cerita dramatisnya.
Teruntuk para maba, juga  siapapun yang tengah belajar-tumbuh-berproses di tempat baru, milikilah dan peganglah prinsip hidup. Jangan mudah terombang-ambing, jangan mudah teralihkan, jangan mudah terdikte, dan jangan mudah terdoktrin dengan hal-hal yang belum jelas kebenarannya. Belajarlah dengan sadar, berproseslah dengan sabar, dan bertumbuhlah sampai mekar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H