Bung Tan Malaka pernah berkata jika idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda. Di negeri kita sendiri, siapapun yang memiliki idealisme yang kuat akan selalu berbenturan dengan realitas sosial. Terbentur dengan segala kecamuk negeri yang makin hari makin memprihatinkan. Bahkan mereka yang menyuarakan kebeneran akan dihabisi dengan segala bentuk pembungkaman. Penyalahgunaan kekuasaan pun terjadi dimana -- mana. Dari tingkat pusat, sampai ke ranah akar rumput, pejabat -- pejabat desa. Ketimpangan sosial begitu terpampang nyata. Yang kaya makin kaya, yang miskin pun jelas tak kunjung kaya.
Sudah kaya, punya kuasa pula. Sudah miskin? Jelas terkapar tak berdaya.
Hari ini pejabat -- pejabat lupa diri. Mereka terlalu sibuk. Sibuk memperkaya diri, sibuk mengurus aset pribadi, juga sibuk mengakali modal yang belum kembali. Mereka lupa, mereka adalah pelayan rakyatnya. Mereka lupa, mereka adalah orang yang "dipercaya" untuk mampu membawa perubahan yang lebih baik untuk lingkungannya. Duh, mereka juga lupa dengan janji -- janji manis yang mereka gaungkan ketika kontestasi pemilihan.
Mereka lupa. Tapi jika diingatkan, jelas mereka tak terima.
Generasi demi generasi silih berganti. Anak kecil kemarin tak terasa sudah pada besar -- besar, sudah bisa bicara, berani bersuara, dan menentukan hidupnya sendiri. Waktu terus berlalu, sampai -- sampai tak terasa kemajuan telah banyak diraup. Tapi lagi -- lagi, Â bukan rakyatnya yang menikmatinya. Peradaban macet, tersendat, bahkan mundur.
Kemunduran jelas tampak semu oleh kemajuan nafsu pribadi.
Lalu apa yang bisa dilakukan? Ketika dahulu mungkin demonstasi masih efektif untuk rakyat dapat menyuarakan keresahan -- keresahannya. Sekarang sepertinya tidak sama sekali. Hari ini justru banyak demonstrasi yang ditunggangi. Jelas kemurnian nurani dipertanyakan kembali. Kampanye di media sosial pun sudah pasti rawan untuk dipidanakan. Tak sedikit dari mereka yang bersuara tentang kebenaran justru dengan keras hendak dipenjarakan kan.
Jelas, dari dulu negeri kita tak seaman itu.
Kabar baiknya, manusia dikutuk menjadi bebas. Bebas memilih untuk menjalani hidupnya sendiri. Bebas untuk bertindak sesuai yang ia mau. Dalam segala bentuk kebebasan itu akan melekat tanggung jawab dan konsekuensi yang akan ia tanggung sendiri. Penulis mencoba mengajak siapapun yang membaca ini untuk sama -- sama sadar diri. Sadarilah bahwa kita adalah manusia yang utuh. Bukan setengah, sepertiga, atau seperempat manusia. Pastikan kita sadar kalau kita manusia yang merdeka dan memerdekakan. Sudah bukan saatnya kita terlena terlalu jauh dengan berbagai suguhan distraksi. Jangan biarkan apatisme mengakar dalam diri.