Mohon tunggu...
Fahris AhmadMarifatullah
Fahris AhmadMarifatullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Belajar Moderat dari "Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono"

11 Juni 2024   10:45 Diperbarui: 11 Juni 2024   10:55 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada era globalisasi terjadi fenomena homogenisasi budaya. Unsur-unsur budaya dari berbagai belahan dunia mulai saling mempengaruhi dan berbaur. Hal ini menjadi tantangan bagi kebudayaan suatu masyarakat agar tidak kehilangan identitas budayanya. Menjadi penting bagi suatu masyarakat untuk bersikap moderat dalam menghadapi fenomena ini.

 Masyarakat Jawa dalam menjaga identitas kebudayaannya dengan berpegang pada nilai dan filosofi budayanya. Masyarakat Jawa dalam kehidupannya sangat berpegang pada nilai filosofi Jawa. Banyak filosofi yang dimiliki masyarakat Jawa. Namun, di era modern mungkin filosofi-filosofi tersebut dianggap aneh oleh kebanyakan orang. Mereka menganggap filosofi Jawa tidak masuk akal dan tak jarang mereka mengolok-olok dengan mengatakannya sebagai klenik. Padahal filosofi tersebut mempunyai makna dan nilai yang relevan dengan fenomena hegemonisasi budaya. Salah satu filosofi tersebut adalah "Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono".

"Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono" adalah fondasi cara berpikir masyarakat jawa agar selalu berada di tengah. Arti filosofi ini dalam bahasa Indonesia adalah "Begitu ya begitu tapi jangan begitu". Mungkin fislosofi ini aneh ketika dibaca, seperti kalimat yang membingungkan. Seakan akan memperbolehkan kita melakukan sesuatu tapi juga melarang melakukan sesuatu. Masyarakat Jawa terdahulu mengajarkan sikap moderat melalui filosofi ini. Maksudnya kita diperbolehkan melakukan sesuatu hal namun harus tetap dengan batasan tertentu.

Konsep filosofi ini telah digunakan masyarakat Jawa dalam menyikapi akulturasi budaya asing sejak zaman Hindu hingga Eropa. Nenek moyang Jawa terdahulu sudah memberikan contoh sikap moderat dalam menyikapi budaya asing yang muncul. Ketika agama hindu masuk di tanah Jawa konsep ini digunakan dengan "Hindu yo Hindu, tapi ora India". Dalam artian agama dan budaya Hindu tetap masuk, tetapi masyarakat Jawa tidak serta merta menjadi hindu yang India. Hal ini ditunjukkan dengan adanya wayang dengan versi Jawa yang berbeda dengan wayang India dan candi yang bentuknya berbeda dengan candi yang ada di India.

Ketika Islam masuk di Jawa, konsep ini juga digunakan dengan "Islam yo Islam, tapi ora Arab". Maksudnya agama Islam dan budaya Arab masuk tetapi tetap menjadi Jawa. Hal ini terlihat dengan munculnya budaya baru yaitu blangkon. Blangkon merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Arab. Di Jawa ada budaya menutup kepala menggunakan ikat, dengan datangnya Islam budaya menutup kepala dimodifikasi dengan membuat ikat kepala menggunakan teknik ikat model Arab.

Hal yang sama juga terjadi ketika budaya Eropa masuk. Budaya Eropa masuk tetapi masyarakat Jawa berprinsip "Eropa ya Eropa, tapi ora dadi londo". Contohnya ketika zaman pergerakan, para aktivis Jawa berpakaian jas tetapi tetap menggunakan kain jarik dan blangkon untuk menunjukkan identitas kejawaannya. 

Dalam menghadapi sebuah perubahan atau hal baru, "Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono" menjadi pondasi dasar agar orang jawa selalu berpikir moderat, kritis, dan jernih, serta fleksibel terhadap sebuah perubahan yang terjadi. Apabila dikaitkan dengan isu kekinian filosofi ini menjadi relevan untuk menghadapi perubahan yang terjadi akibat globalisasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun