Mohon tunggu...
Fahrijal Nurrohman
Fahrijal Nurrohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hey there! I am using Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Upaya Basam Tibi dalam Memodernisasi Islam ala Eropa

26 Januari 2024   15:56 Diperbarui: 26 Januari 2024   15:56 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Basam Tibi, mungkin nama ini sudah tidak asing lagi di telinga para mahasiswa, terutama bagi mereka yang mengambil jurusan tentang studi pemikiran. Melalui pemikirannya yang progresif, dia menawarkan beberapa ide-ide yang mendobrak tradisi-tradisi kuno yang selama ini telah mengekang umat Islam. Hal ini berangkat dari kegelisahannya akan kondisi umat Islam yang sulit berdamai dengan modernitas yang sedang digencarkan oleh negara-negara di Barat. Umat Islam, terutama mereka yang berada dalam barisan kelompok fundamentalis merasa bahwa modernisasi yang tengah gencar di Barat memberikan efek yang kurang baik terhadap agama Islam. Hal ini tidak lain berangkat dari banyaknya budaya-budaya dan tradisi Barat yang bertentangan dengan nilai-nilai ke-Islaman. Basam Tibi mengatakan bahwa kelompok fundamentalis merupakan implementasi dari ideologi politik Islam, dan menurutnya kelompok ini tidak menganggap Islam sebagai sebuah budaya1.

Basam Tibi berpandangan bahwa agama adalah sistem budaya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dia juga mengaku dipengaruhi oleh pemikiran Emile Durkheim yang menurutnya agama adalah sebuah fakta sosial atau fait social. Tibi percaya bahwa sistem budaya Islam kontemporer sangat dipengaruhi oleh budaya Arab dan ideologi politik saat itu. Ia mengacu pada konteks Perang Shiffin, kebangkitan Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Utsmani setelahnya di tanah Arab. Orang-orang Arab, yang memiliki darah dengan Nabi Muhammad, akan mendominasi komunitas politik Islam, dan mempengaruhinya secara kultural2. 

Tibi secara selektif melalui beberapa tahapan sejarah dalam politik Islam untuk menyatakan bahwa Islam bukanlah sebuah sistem politik, seperti yang dikemukakan pertama kali oleh Ali Abderraziq (w. 1966), seorang sarjana al-Azhar pada tahun 1925, pada saat pembubaran Kesultanan Utsmaniyah. Sistem khalifah ini adalah sistem budaya yang menggabungkan agama dan sosial. Dia mengacu pada studi kasus rinci dari dunia Arab saat ini untuk menunjukkan pendapatnya bahwa Islam disesuaikan dengan sejarah sosio-kultural dari geografi yang diaturnya, dan dengan demikian tidak ada satu model politik yang jelas dalam Islam.

Kehidupan Nabi sebagai pemimpin umat Islam dapat dibagi menjadi dua tahap: periode Mekkah dan periode Madinah. Yang pertama berkisar dari kelahiran Nabi, melewati turunnya wahyu kepadanya pada usia 40 tahun, dan mulai menyebarluaskan pesan Islam terutama berfokus pada "membangun landasan etis baru untuk memeluk Islam sebagai bagian dari hak asasi manusia bagi setiap individu"3. Tibi mengadopsi istilah Reinhard Bendix (w. 1991) bahwa tahun tahun awal Islam dapat dikatakan diperintah oleh “kepemimpinan yang bersifat karismatik” yang tidak ada bandingannya dengan pengalaman politik biasa lainnya. “Nubuat itu unik dan tidak bisa diteruskan atau diulangi,” tambah Tibi.4 Selama era “kenabian karismatik” ini, istilah “negara” atau “negara Islam” (dawlah islamiyah, nidzamul islamiyyi) tidak pernah digunakan oleh Nabi, juga tidak digunakan dalam bahasa Al-Qur'an. Istilah “negara Islam” adalah nomenklatur dan konsepsi modern, dan harus dibedakan dari “Era Nabi”, untuk mengartikan periode Mekkah dan Madinah Nabi, dari sisa sejarah awal Islam.5

Bagi Tibi, krisis yang dialami masyarakat Islam dan Muslim saat ini pada dasarnya bersifat kultural. Untuk mengatasinya, “modernitas budaya”, yang menjadi istilah utamanya untuk diungkapkan reformasi agama dan perubahan sosial, harus diadopsi, untuk menggantikan pembacaan agama ortodoks dan patriarki lama, yang secara kultural sangat menjadi beban. Modernitas kultural adalah jawaban atas keterpurukan Islam dengan modernitas, dan itu yang dibutuhkan untuk memfasilitasi perkembangan Euro Islam sesudahnya. Bagi Tibi, benih awal kehancuran politik di dunia Arab adalah penggunaan agama dalam gerakan pembebasan politik. Pan-Arabisme dan Islam tampaknya sejalan, untuk memenangkan pembebasan dari Ottoman, terutama dari Eropa. Setelah kekalahan Perang Enam Hari tahun 1967, kaum intelektual di dunia Arab, terutama kaum sekular-liberal, akan mendapati diri mereka “terbelah antara tirani rezim politik dan ancaman dibunuh oleh kaum fundamentalis Muslim.”.6

Proyek modernitas budaya Tibi bersifat modern, sekuler, dan berbasis nalar. “Modernitas budaya adalah sebuah proyek yang didasarkan pada pengakuan atas keunggulan nalar". Juga dalam rangka merekonstruksi ulang model syariah. Bagi Tibi, istilah syariah, yang hanya muncul satu kali dalam Al-Qur'an (45:18), memiliki makna etis, bukan yuridis. Makna yuridisnya adalah sebuah konstruksi, “Secara historis, Tibi berpendapat bahwa Syariah, sebagai sistem hukum, adalah konstruksi pasca Alquran". Ini “adalah karya ulama fikih agama dalam Islam”; “itu bukan wahyu Tuhan". 

Agar modernitas budaya berhasil, ia harus didasarkan pada kebebasan individu. Subjektivitas adalah yang utama. Itu menjunjung tinggi agensi individu dan mempromosikan pluralisme dalam masyarakat. Tanpa hak individu, modernitas menemui jalan tengah, dan Islam, seperti semua agama, terjerat dalam kebuntuan, yang di sini disebut kesulitan. Tibi berpendapat bahwa syariah bertentangan dengan hak asasi manusia individu sebagaimana diadopsi secara internasional sejak 1948 melalui Deklarasi universal hak asasi manusia. Dia percaya bahwa individu dihilangkan di tempat komunitas, yang pada gilirannya dianggap lebih tinggi dari agama lain atau filsafat buatan manusia.

Tibi menguraikan hak-hak tertentu yang perlu ditinjau kembali dan direformasi. Beberapa hal yang kiranya perlu direformasi dapat disebutkan sebagai berikut: (1) menempatkan kaum monoteis non-Muslim (Yahudi dan Nasrani) sebagai kaum dhimmi, yaitu minoritas yang dilindungi dan bukannya dianggap setara; (2) kedudukan non-muslim non-monoteis lainnya (Hindu, Budha, dll.) sebagai kafir (kafir); (3) pertimbangan Syi'ah seperti di sini tics; dan sebaliknya, (4) tempat reformis Muslim atau non-Muslim yang kadang-kadang dihukum karena murtad dan mati melalui doktrin takfir ; (5) diskriminasi terhadap semua agama minoritas dalam Islam (Baha'i, Ahmadiyah, dll); dan (6) diskriminasi terhadap perempuan.7

Berikut adalah yang kiranya Basam Tibi tawarkan sebagai cara menuju Islam yang lebih modern:, Pertama, penerapan sistem Sekuler Demokrasi, Bassam Tibi mencoba menawarkan alternatif bahwa cara untuk konflik harus sekuler agar diterima oleh semua pihak namun disini Bassam Tibi tidak menjelaskan seperti solusi yang sekuler tersebut. Dalam hal ini Bassam Tibi memberikan beberapa contoh negara negara yang mampu dan tidak mampu meredam terhadap berkembangnya Islamisme, negara yang mampu meredam islamisme adalah Malaysia sedangkan negara yang tidak mampu meredam Islamisme yaitu timur tengah dengan solusi yang ditawarkan oleh Hamas dan Hizbullah.8

Kedua, Tibi menawarkan pola pikir pluralisme dimana semua peradaban berinteraksi dan menghormati satu sama lain atas pijakan yang sama. Berikut ini kutipan dari statemennya Tibi.

"Di tempat ketegangan Islamisme yang tak terselesaikan antara tradisi ciptaan dan realitas modern, saya berargumen untuk perubahan budaya dalam peradaban Islam menuju suatu pola pikir pluralisme"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun