Perempuan, salah satu lambang keindahan yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Sudah tak terhitung puisi yang diciptakan untuk menggambarkan keindahan yang dimiliki oleh makhluk Tuhan yang bernama perempuan ini. Tak terhitung juga berapa banyak perempuan yang tercatat dalam sejarah yang mempunyai andil dalam segala lini kehidupan. Salah satu contohnya adalah Rabi'ah Al-Adawiyah yang merupakan salah satu sufi yang memunculkan konsep mahabbah dalam bidang sufisme.
Namun, terdapat perjalanan yang panjang bagi perempuan untuk mendapatkan kebebasannya. Seperti yang kita ketahui, pada zaman dahulu perempuan pernah mengalami masa-masa yang kelam. Contohnya adalah pada masa sebelum Islam, kaum Jahiliyah menganggap perempuan sebagai beban sehingga mereka beranggapan jika memiliki anak perempuan adalah aib. Pada masa itu, perempuan juga dianggap sebagai harta yang bisa diwariskan. Tak terbayangkan bagaimana menyedihkannya kehidupan kaum perempuan pada masa itu.Â
Begitu pula di bumi Nusantara, perempuan juga kehilangan hak-haknya sebagai manusia yang bebas. Contohnya adalah budaya pingit yang marak dikalangan masyarakat Jawa. Pingit adalah suatu proses pernikahan yang mana pengantin perempuan dilarang keluar selama waktu tertentu dan tidak boleh bertemu dengan pengantin pria sampai prosesi pernikahan. Budaya pingit ini di tentang oleh RA. Kartini karena menurut dia pingitan adalah bentuk penindasan yang disematkan kepada perempuan dan secara tidak langsung menyematkan sifat lemah kepada perempuan.
Penulis pernah mendengar cerita dari Ibu bahwa pada zaman dahulu perempuan mempunyai hak yang tidak sama dengan laki-laki. Contohnya dalam hal pendidikan, zaman dahulu perempuan tidak diperbolehkan untuk sekolah dan hanya laki-laki yang mendapatkan hak istimewa untuk menempuh pendidikan. Dan hal itu tidak lepas dari statemenet masyarakat zaman dahulu terhadap kaum perempuan, "buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya juga ke dapur". Pendapat inilah yang dijadikan rujukan bahwa pendidikan itu tidak penting bagi perempuan. Juga statement yang mengatakan bahwa perempuan tugasnya hanya masak, macak dan manak.
1. Masak
Masak, anggapan masyarakat zaman dahulu bahwa tugas seorang adalah hanya untuk memasakkan makanan untuk keluarga. Seperti yang diketahui bahwa pada zaman dahulu, anak-anak perempuan sudah diajari untuk memasak sejak kecil. Perempuan dituntut untuk bisa memasak sejak kecil agar ketika sudah masuk jenjang pernikahan perempuan sudah siap untuk menjadi juru masak bagi suaminya.
2. Macak
Macak, pendapat yang mengatakan bahwa tugas perempuan adalah hanya untuk macak atau berdandan. Berdandan untuk menyenangkan suaminya. Memang benar bahwa berdandan adalah sifat alamiah yang dimiliki oleh perempuan, namun jika dianggap sebagai tugas wajib ketika sudah berkeluarga tentu bukan hal yang lumrah.
3. Manak
Manak, adalah anggapan yang menjadikan perempuan hanya sebagai pemuas nafsu belaka. Seakan-akan perempuan hanya bertugas di kasur untuk memuaskan hasrat suaminya. Betapa hinanya derajat perempuan jika dipandang seperti itu.
Jadi, bukanlah hal yang benar jika memandang perempuan hanya seputar masak, macak dan manak. Dengan demikian, penting untuk mengubah pikiran-pikiran seperti itu, terutama di desa-desa (bukan bermaksud merendahkan). Dan perempuan juga berhak untuk mendapatkan kesetaraan yang setara dengan laki-laki terutama dalam pendidikan dan hak-hak sipil lainnya.Â