Mohon tunggu...
Fahri Hidayat
Fahri Hidayat Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Kementerian Agama RI, Mahasiswa Program Doktor (S3) UIN, Peneliti di Al Hambra Institute for Islamic Thought and Civilization. Facebook: https://www.facebook.com/fahri.hidayat.3

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilpres 2014: Potret Kelam Sejarah Pers Indonesia

20 Juni 2014   22:12 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:58 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14032518331553020730

Oleh: Fahri Hidayat

Sepanjang sejarah reformasi, Pemilu Presiden (pilpres) 2014 ini adalah fenomena pertama dimana media-media mainstream secara vulgar tampil sebagai salah satu unsur pemain utama yang berlaga dalam kontestasi politik di negeri ini. Jika merujuk padapasal 33 UU. No. 40 tahun 1999 tentang Pers,fungsi media sebenarnya adalah sebagai sarana informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, sekaligus menjadi lembaga komersil (bisnis). Dalam perspektif ini, media seharusnya tidak boleh digunakan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan pribadi / kelompoknya.

Jika dilihat dari sejarahnya, lahirnya Undang-Undang No 40 tahun 1999 ini sebenarnya adalah anti klimak dari upaya masyarakat dalam memperjuangkan adanya payung hukum bagi kebebasan pers di Indonesia yang sebelumnya, pada masa Orde Baru, dibungkam oleh Pemerintah. Lahirnya undang-undang ini membawa angin segar bagi dunia pers sekaligus mengawali era baru di alam reformasi, dimana media menjadi salah satu pilar demokrasi. Sebagai alat kontrol sosial, media juga berfungsi sebagai “pengawas” terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah supaya tetap berjalan on the track. Pengawasan media seperti saat ini sekaligus menutup ruang bagi kemungkinan munculnya penguasa yang diktator dan otoriter.

Akan tetapi, semangat kebebasan pers itu kini tercederai dengan tampilnya para pemilik media massa di arena politik. Sebenarnya tidak ada yang salah dari ikut sertanya para pemilik media tersebut dalam kontestasi politik, namun jika kemudian menggunakan media yang dimilikinya untuk melakukan rekayasa informasi atau provokasi-provokasi yang bertendensi untuk kepentingan dirinya, maka bagaimanapun juga ini merupakan pengkhianatan terhadap semangat reformasi. Bagaimanapun juga, media tidak boleh dijadikan sebagai alat politik.

Independensi media kini benar-benar dipertanyakan. Sebut saja Metro TV dan TV One, yang saat ini bahkan secara terang-terangan menampakkan keberpihakannya pada kekuatan politik tertentu. Berita-berita yang dimuat pada kedua stasiun televisi itupun kini berubah 180 derajat, dari yang semula mencerdaskan masyarakat menjadi media propaganda yang sangat membodohkan, dan bahkan berpotensi menyulut konflik horizontal. Metro TV yang diketahui milik Surya Paloh, politisi Partai Nasdem itu, kini menampilkan dirinya sebagai media pencitraan bagipasangan Jokowi-JK. Bahkan, hampir seluruh berita yang terkait dengan pilpres 2014 di Metro TV hanya menampilkan aktivitas politik Jokowi.

Lebih jauh, informasi tentang Prabowo Subianto di Metro TV bukan hanya sedikit porsi pemberitaannya, akan tetapi yang sedikit itu justru berisi pemberitaan negatif yang tidak jarang sangat bernuansa fitnah dan rekayasa. Sebagai contoh, beberapa hari yang lalu dalam kampanye di Indonesia Timur, Prabowo mengatakan bahwa orang Indonesia Timur itu konon suka berkelahi, makanya layak untuk menjadi polisi atau TNI. Pernyataan Prabowo tersebut tentu hanya sekedar guyonan belaka dan tidak serius. Namun, Metro TV menggiring opini publik dengan memberitakan bahwa pernyataan Prabowo Subianto tersebut adalahbentuk deskriminasi ras yang menghina orang Indonesia Timur dan mengandung unsur SARA. Hal ini dipertajam oleh Metro TV dengan mengutip testimoni para politisi dan pengamat, serta diberitakan secara massif dan berulang-ulang. Bukankah cara pemberitaan seperti ini justru berpotensi menyulut konflik horizontal?

Tidak mau kalah dengan Metro TV, TV One milik politisi Golkar, Aburizal Bakrie, juga secara terang-terangan menunjukkan keberpihakan pada pasangan Prabowo-Hatta. Meskipun tidak separah Metro TV, namun berita-berita di TV One kini juga terasa sangat tendensius. Di atas segalanya, pihak yang paling dirugikan dari semua ini adalah publik. Kini, publik tidak lagi percaya dengan berita-berita di media, karena semua sarat dengan kepentingan. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pilpres 2014 ini sebenarnya bukan pertarungan Prabowo vs Jokowi, namun justru pertarungan ARB vs Surya Paloh dengan kedua media yang dimilikinya. (FH)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun