Mohon tunggu...
Fahri Hidayat
Fahri Hidayat Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Kementerian Agama RI, Mahasiswa Program Doktor (S3) UIN, Peneliti di Al Hambra Institute for Islamic Thought and Civilization. Facebook: https://www.facebook.com/fahri.hidayat.3

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Mengembalikan Marwah Bahasa Ibu Pertiwi

9 Juni 2015   08:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:09 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Membaca tulisan Agung SS Widodo dalam kolom Opini Kedaulatan Rakyat edisi Kamis 24 April 2015 yang lalu tentang “Islamic State dan Krisis Ideologi Pancasila” membuat penulis tertarik untuk mengkaji dan mendiskusikannya lebih lanjut bahwa sebenarnya persoalan utama yang sedang dihadapi oleh bangsa ini bukan hanya sekedar krisis ideologi saja, namun juga krisis identitas. Globalisasi dan keterbukaan informasi telah menjadikan masyarakat dunia dapat saling terhubung dengan sangat mudah dan cepat bahkan melampaui batas-batas teritorial yang ada. Hal ini memang berdampak positif pada satu sisi, namun juga menyisakan berbagai persoalan kebangsaan yang perlu diantisipasi, di antaranya adalah lunturnya identitas bangsa.

Salah satu identitas bangsa yang perlu dijaga dan dipertahankan bersama adalah semangat berbahasa Indonesia. Saat ini, terjadi kecenderungan di tengah masyarakat baik pada level masyarakat bawah, politisi, bahkan sampai dengan akademisi di kampus dan perguruan tinggi untuk lebih memilih menggunakan istilah-istilah dalam bahasa asing ketimbang bahasa ibu pertiwi. Sebenarnya tidak menjadi persoalan menggunakan istilah dalam bahasa asing jika memang istilah tersebut belum ada di dalam bahasa Indonesia, namun yang menjadi pertanyaan besar adalah ketika kita justru memilih untuk menggunakan istilah asing yang sebenarnya sudah ada di dalam kamus bahasa Indonesia. Sebagai contoh, pada saat terjadi kisruh antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Pemerintah belum lama ini,  istilah yang sering digunakan adalah “reshufle” untuk menunjukkan maksud penggantian Menteri. Padahal sebenarnya di dalam kamus bahasa Indonesia juga terdapat banyak sekali kata yang bisa digunakan untuk mengungkapkan maksud yang sama, seperti “penggantian”, “pencopotan”, “perombakan”, dan lain sebagainya.

Pada awal kemerdekaan dulu, Ki Hadjar Dewantara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) lebih banyak mempopulerkan istilah-istilah yang digali dari budaya lokal seperti “tutwuri handayani” yang sekarang menjadi slogan pada  logo Kemendikbud. Bahkan istilah “pancasila”, “berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri), dan “bhineka tunggal eka” (berbeda-beda namun tetap satu jua) yang merupakan semboyan Negara juga diambil dari bahasa lokal. Selain itu, istilah-istilah dan konsep-konsep yang dikenalkan dalam dunia pendidikan juga merupakan istilah asli bahasa Indonesia, seperti “pendidikan budi pekerti”, “tridaya” (cipta, rasa, karsa), dan lain sebagainya.

Saat ini, seolah-olah muncul kesan bahwa penggunaan istilah-istilah lokal dirasa kurang meyakinkan. Sehingga orang cenderung untuk lebih memilih menggunakan istilah “chacacter building” ketimbang “pembangunan karakter”, “active learning” ketimbang “pembelajaran aktif”, “impeachment” ketimbang “pencopotan”, dan lain sebagainya. Menguasai bahasa asing, seperti bahasa Inggris, tentu merupakan hal yang positif dan harus didukung. Namun penguasaan bahasa asing seharusnya bersifat fungsional, dalam artian bahasa tersebut digunakan pada tempatnya, seperti pada seminar internasional atau kepentingan akademik yang memang mewajibkan hal itu. Adapun untuk komunikasi sehari-hari, maka penggunaan bahasa asing jelas tidak relevan. Jadi, belajar bahasa asing bukan berarti harus meng-asingkan diri sehingga justru terkesan kebarat-baratan atau ketimur-timuran.

Dalam hal ini, kita harus belajar dari jepang yang dengan semangat kaizen-nya negeri sakura tersebut sangat terbuka pada perkembangan-perkembangan baru yang ada di dunia luar, namun pada saat yang sama tetap mempertahankan identitas dan jati diri bangsanya. Selain itu, kebijakan ketenagakerjaan di Jepang mewajibkan kepada semua pekerja asing untuk menguasai bahasa Jepang.

Maka, kebijakan Menteri Transmigrasi dan Tenaga Kerja (Menakertrans) M Hanif Dhakiri yang tengah merevisi Permenakertrans No 12 tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing perlu diapresiasi. Dalam revisi tersebut ditetapkan peraturan baru bagi tenaga kerja asing (TKA) yang bekerja di Indonesia untuk menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi yang wajib digunakan di republik ini. Kebijakan tersebut merupakan sebuah terobosan yang sangat berarti untuk mengembalikan citra bahasa Indonesia, bukan sekedar bagi TKA saja namun juga bagi anak bangsa sendiri untuk lebih bangga menunggunakan bahasa ibu pertiwi dibandingkan bahasa asing. 

*) Artikel ini pernah dimuat di kolom opini, Harian Kedaulatan Rakyat, edisi 9 Mei 2015.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun