Mohon tunggu...
Fahri Hidayat
Fahri Hidayat Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Kementerian Agama RI, Mahasiswa Program Doktor (S3) UIN, Peneliti di Al Hambra Institute for Islamic Thought and Civilization. Facebook: https://www.facebook.com/fahri.hidayat.3

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lunturnya `Kesakralan` Gelar Akademik

27 Oktober 2015   14:10 Diperbarui: 27 Oktober 2015   14:10 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terbongkarnya praktik jual beli ijazah palsu yang santer diberitakan beberapa hari yang lalu merupakan tamparan bagi dunia pendidikan di Indonesia. Pasalnya, gelar akademik merupakan penghargaan intelektual yang disandangkan kepada seseorang yang telah menempuh pendidikan formal tertentu dengan asumsi bahwa penyandang gelar tersebut memiliki kualifikasi keilmuan yang sesuai dengan gelarnya. Oleh karena itu, gelar akademik merupakan gelar yang sakral, dimana penyandangnya harus mampu mempertanggungjawabkan keilmuannya di hadapan publik.

Terkuaknya jual beli ijazah palsu ini langsung mendapatkan reaksi keras dari pemerintah. Bahkan, pemerintah pusat menginstruksikan agar seluruh ijazah PNS diperiksa ulang. (Kedaulatan Rakyat, 28 Mei 2015, hlm. 2). Langkah tegas tersebut dinilai sangat tepat, karena selain untuk memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, juga memberikan pesan kepada masyarakat agar tetap berpegang pada nilai-nilai etika dan hukum. Untuk memperoleh sebuah gelar akademik, seseorang memang diwajibkan melewati proses pendidikan yang tidak sebentar. Hal ini dimaksudkan agar gelar tersebut bukan hanya diberikan secara formalitas, namun juga sebanding dengan kualitas. Jika praktik jual beli ijazah semakin marak terjadi, maka tidak mustahil pada gilirannya nanti akan muncul fenomena desakralisasi gelar akademik, atau menurunnya penghargaan publik terhadap sebuah gelar pendidikan.

Desakralisasi gelar keilmuan sebenarnya sudah terjadi pada beberapa hal. Gelar haji, misalnya, pada mulanya merupakan gelar keilmuan. Pada awal abad 20, pada saat Indonesia masih berada di bawah cengkeraman kolonial Belanda, di dunia Arab terjadi gerakan Pan-Islamisme, yaitu gerakan kebangkitan dunia Islam. Biasanya, orang Indonesia yang berangkat ke tanah suci bukan hanya sekedar melaksanakan ibadah saja, namun juga bertemu dengan para intelektual dan cendekiawan Muslim yang datang dari berbagai Negara untuk berdiskusi tentang masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh negaranya masing-masing. Setelah pulang dari tanah suci, biasanya para haji tersebut membawa ide dan gagasan-gagasan baru yang diperolehnya dari diskusi-diskusi tersebut. Dengan demikian, gelar haji sebenarnya merupakan identitas keilmuan. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, gelar ini disematkan kepada siapa saja yang pernah menunaikan ibadah di tanah suci. Sehingga, kesakralan gelar haji semakin berkurang, karena maknanya tereduksi dari gelar keilmuan menjadi gelar agama saja.

Memang, gelar haji masih memiliki kedudukan tertentu bagi masyarakat Indonesia saat ini. Namun penghargaan tersebut tidak sebesar pada zaman dulu, dimana pada saat itu para haji di tanah air memiliki kiprah dan pengaruh yang luar biasa dalam membangun bangsa dan Negara. KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy`ari merupakan dua tokoh yang dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Artinya, sebenarnya publik tidak menghargai seseorang hanya dari gelarnya saja, namun kontribusi nyatanya. Meskipun memiliki gelar yang berderet panjang yang disematkan di belakang namanya, jika tidak sebanding dengan kiprahnya di masyarakat, maka gelar tersebut tidak memiliki makna apa-apa.

Dahulu, gelar sarjana juga memiliki prestise yang tinggi. Sebab, selain karena jumlahnya belum banyak, para sarjana saat itu memang dikenal sebagai kaum terpelajar yang memiliki kiprah besar di masyarakat. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, meningkatnya jumlah sarjana membuat prestise gelar ini menurun. Sebab kualitas para sarjana saat ini sangat bervariasi, ada yang memang bagus, namun tidak sedikit yang justru dianggap menjadi beban negara.  Kementerian Pemuda dan Olah Raga merilis data bahwa tingkat pengangguran terdidik dari kalangan sarjana sudah mencapai angka 12,58 % pada tahun 2012. Maka, supaya tidak terjadi desakralisasi gelar akademik, dan agar kepercayaan publik tetap terjaga,  gelar akademik harus diimbangi dengan kapasitas akademik. Gelar sebagai simbol memang penting, namun kualitas sebagai substansi dari simbol tersebut harus tetap diperhatikan. Terkuaknya praktik jual beli ijazah tidak menawarkan pilihan lain bagi pemerintah Indonesia selain harus menindak dengan tegas supaya tetap menjaga kepercayaan publik terhadap sebuah gelar akademik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun