Mohon tunggu...
Fahri Haidar
Fahri Haidar Mohon Tunggu... -

Ketua Bidang Luar Negeri DPP Perhimpunan Gerakan Keadilan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mencermati Kekerasan Atas Nama Agama

11 Januari 2012   10:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:02 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bangkitnya gerakan radikalisme agama dewasa ini, secara historis sulit dilepaskan dari reaksi negative atas gelombang modernitas yang membanjiri negara-negara muslim pada awal abad ke-20. Pengaruh modernitas ini bukan hanya pada dimensi kultural, tetapi juga dimensi struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrument modern lainnya, khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang melahirkan konstruksi Negara-bangsa modern. Reaksi tersebut muncul akibat ketidak mampuan kultur masyarakat merespon nilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas ini. Disamping realitas masyarakat yang sangat plural, dipertantangkannya konsepsi negara-bangsa sekuler moderndengan universalisme tatanan berdasarkan agama, telah mempertajam ketegangan dan benturan politik-idiologis yang menghambat perkembangan kesadaran kebangsaan. Akibatnya, konstruk negara-bangsa modern dinegara-negara muslim umumnya mengalami delegitimasi dan ancaman terus-menerus.

Tak mudah membayangkan Islam yang berperan aktif dalam proses bina-damai atau peace building. Perang internasional dan perang saudara yang melibatkan negeri-negeri muslim, aksi-aksi teror yang mengatasnamakan Islam, dan doktrin-doktrin tertentu dalam ajaran Islam seperti ajaran yang dibawa Muhammad bin Abdl Wahab, cenderung menampilkan citra islam yang kasar , ganas dan tak dapat hidup berdampingan. Dari tahun ketahun, negeri ini terus menerus dikoyak oleh para gerombolan teroris dengan mengatasnamakan agama. Setiap saat, setiap waktu, kapan saja dan di mana saja, ulah para pembajak agama ini selalu mengancam keselamatan dan mengoyak ketentraman kita dalam menjalankan tugas berbangsa dan bernegara. Kasus-kasus seperti yang terjadi di Pandeglang, Bangil, Pasuruan dan terakhir di Sampang Madura telah mengoyak rasa kemanusiaan kita. Dalam situasi seperti ini sulit rasanya bagi kita untuk bicara Islam sebagai "Rahmatan lil" Alamin" ketika pada faktanya para pembajak agama masih memiliki kesempatan untuk terus-menerus berkeliaran di bumi pertiwi ini.

Penerapan ajaran agama yang mengabaikan aspek sosio-kultural masyarakat setempat, Penolakan total terhadap tradisi lokal, sekaligus pada perkembangan modernitas dengan tanpa mengadaptasikan ajaran agama dengan kebutuhan sejarah dan konteks sosial, pada akhirnya melahirkan sikap eksklusif dan pandangan ekstrem dalam beragama. Radikalisasi agama kian menguat, terutama terlihat dari merosotnya toleransi terhadap kelompok atau agama lain. Situasi ini cukup berbahaya sebab bisa mengikis kesadaran kebangsaan di Indonesia sehingga mengganggu sistem ketahanan dan kenyamanan kondisi di bangsa Indonesia yang di bangun berdasarkan pancasila dan UUD 1945 ini. Radikalisasi tumbuh di tengah keterbukaan politik. Saat bersamaan, pemerintah lemah dan tak punya wibawa. Sementara lembaga keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru memberikan angin segar dan besar bagi sikap radikal dengan mengeluarkan fatwa-fatwa yang justru bertentangan dengan naluri keagamaan itu sendiri. Semua ini bisa mengikis kesadaran Agama yang didasarkan cinta serta Keindonesiaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang plural dan menghargai perbedaan.

Peran setiap warga masyarakat sangat penting dalam meminimalisasikan dan menormalkan kondisi dari riak-riak kekerasan yang mengatasnamakan agama dan kepentingan kelompok agama, politik bahkan negara. Karena dengan semangat kebinekaan dan Pancasila serta didampingi dengan amanat UUD 1945, integritas yang bisa menciptakan keamanan dan pertahanan negara bisa menguat.

Beberapa ayat al-Qur’an – seperti surah ke-5 dan ke-49 secara kuat melarang Muslim membenci, melecehkan dan mencap orang lain ataupun melakukan kekerasan. Tindakan kekerasan di Indonesia baru-baru ini bertentangan dengan ayat-ayat ini, dan dilakukan oleh orang-orang yang salah kaprah dalam memahami agama. Al-Qur’an tidak mendorong kekerasan, dan justru mendorong orang untuk membangun masyarakat yang damai dan saling menghargai.

Akhirnya, mari kita kembali kepada ajaran agama sebagai Rahmat semesta alam. Dalam ajaran agama apapun, tidak dibenarkan melakukan tindak kekerasan untuk alasan apapun. Laa iqraaha fiddiin, tidak boleh ada kekerasan dalam beragama. Karena agama adalah pembawa kedamaian bukan pembawa kebencian, juga karena kita adalah warga bangsa Indonesia dengan landasan Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD 1945, sudah seharusnya segala bentuk kekerasan atas nama agama seperti yang terjadi di Sampang baru-baru ini tidak terulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun