Mohon tunggu...
Fahri Dwi Ananta
Fahri Dwi Ananta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik UI

Memiliki ketertarikan terhadap isu sosial-masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Australia dan Konflik Palestina-Israel: Dari Sejarah Panjang Menuju Pendekatan Two State Solution

13 Desember 2024   14:24 Diperbarui: 14 Desember 2024   15:59 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada tahun 2024, Australia telah mengubah kebijakannya dengan mendukung resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyerukan agar Israel segera mengakhiri keberadaannya yang melanggar hukum di wilayah Palestina yang diduduki. Dalam resolusi tersebut, Australia secara tegas memberikan suara mendukung, menandai pergeseran signifikan dari pendekatan sebelumnya. Sebelumnya, pada sidang Majelis Umum yang membahas isu serupa, Australia memilih untuk abstain, menunjukkan adanya perubahan dalam sikap diplomatiknya terhadap konflik Palestina-Israel (Miller, 2024). 

Australia sebelumnya abstain dalam resolusi serupa pada sidang Majelis Umum, termasuk pemungutan suara yang dilakukan pada bulan September. Namun, perkembangan signifikan terjadi sejak saat itu, dengan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Miller & Ryan, 2024). Sebagai negara pihak dalam ICC, Australia memiliki kewajiban hukum untuk menangkap kedua tokoh tersebut apabila mereka memasuki wilayahnya (Miller, 2024). Australia bersama 158 negara lainnya, termasuk Inggris dan Selandia Baru, mendukung resolusi komite PBB yang menegaskan "kedaulatan permanen rakyat Palestina di Wilayah Palestina yang Diduduki, termasuk Yerusalem Timur, serta penduduk Arab di Golan Suriah yang diduduki atas sumber daya alam mereka." Sebaliknya, tujuh negara, termasuk Amerika Serikat, Israel, dan Kanada, menentang resolusi tersebut, sementara 11 negara lainnya memilih abstain. Resolusi ini selanjutnya akan diajukan kepada Majelis Umum PBB untuk pembahasan lebih lanjut. Dukungan ini menandai pertama kalinya pemerintah Australia menyetujui resolusi tentang "kedaulatan permanen" sejak usulan ini pertama kali diperkenalkan sekitar dua dekade yang lalu (Miller & Ryan, 2024).
Secara historis, Australia memiliki sejarah panjang dalam memainkan peran signifikan terkait pembentukan negara Israel. Pada saat Perang Dunia I, pasukan Australia, bagian dari Egyptian Expeditionary Force, memainkan peran penting dalam melawan kekuasaan Ottoman di Palestina, termasuk dalam Pertempuran Beersheba pada tahun 1917. Keberhasilan pasukan Australia di Beersheba dan Yerusalem menciptakan hubungan awal yang positif dengan komunitas Yahudi lokal atau disebut Yishuv, yang melihat pasukan Australia sebagai pembebas dari kekuasaan Ottoman dan konflik lokal (Kucharska, 2023). Selanjutnya pasca-Perang Dunia II hubungan Australia - Israel juga terus berlanjut. Sebagai presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Herbert “Doc” Evatt, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dari Partai Buruh, memimpin berbagai resolusi yang akhirnya menghasilkan pembagian mandat Inggris atas Palestina serta pengakuan resmi terhadap negara Israel (Mandel, 2004). 

Dukungan ini berlanjut di bawah pemerintahan-pemerintahan selanjutnya. Misalnya, selama Krisis Suez pada tahun 1956 (Brown, 2001) pemerintahan Menzies mendukung Inggris dan Prancis dalam aksi militer yang melibatkan Israel terhadap Mesir. Selain itu, di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Australia secara konsisten menjadi salah satu dari sedikit sekutu Amerika Serikat yang memberikan dukungan kepada Israel dalam berbagai pemungutan suara, termasuk dalam isu-isu yang banyak mengundang kecaman terhadap negara tersebut. Selama Perang Dingin, hubungan kedua negara terus berkembang, meskipun ada fluktuasi terkait perubahan pemerintahan di Australia. Pemerintahan Robert Menzies mendukung Israel selama Krisis Suez pada tahun 1956, sedangkan pada era Gough Whitlam (1972–1975), hubungan menjadi lebih kritis dengan pengakuan atas hak Palestina untuk memiliki negara. Namun, pemerintahan Bob Hawke (1983–1991) kembali mempererat hubungan ini. Hawke menjadi perdana menteri Australia pertama yang mengunjungi Israel dan mendukung pencabutan Resolusi PBB yang menyamakan Zionisme dengan rasisme (Kucharska, 2023)

Secara historis, banyak warga Australia merasakan kedekatan identitas dengan Israel. Bagi beberapa generasi, Israel dipandang sebagai simbol penebusan atas kengerian Holocaust. Selain itu, Australia sebagian besar terbebas dari bentuk anti-Semitisme yang tidak kritis, yang seringkali mewarnai perdebatan mengenai Israel di negara lain. Gubernur Jenderal pertama Australia yang lahir di negara tersebut, Sir Isaac Isaacs, merupakan seorang Yahudi, menyoroti hubungan historis tertentu antara Australia dan komunitas Yahudi. Selain itu, narasi tentang permukiman di tanah memiliki resonansi tersendiri bagi banyak warga Australia, meskipun diskusi mengenai siapa yang kehilangan tanah tersebut seringkali dianggap terlalu sensitif untuk dipertimbangkan secara mendalam. Australia secara resmi mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel, tanpa memberikan pengakuan serupa terhadap Yerusalem Timur dan Palestina (The Associated Press, 2018). Langkah ini memberikan sinyal yang jelas mengenai kecenderungan Australia untuk berpihak pada Israel dalam konflik yang sedang berlangsung.

Yerusalem menjadi salah satu isu paling krusial dalam konflik Palestina-Israel, terutama pada tahun 2018. Setelah Amerika Serikat memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem pada 14 Mei 2018, Australia secara mengejutkan mengumumkan pengakuan terhadap Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel pada 15 Desember 2018, menjelang akhir tahun tersebut. Meskipun telah mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel, Australia memutuskan untuk tidak memindahkan kantor kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem, berbeda dengan langkah yang diambil oleh Amerika Serikat (Tempo, 2018).

Keputusan ini memicu kritik dari berbagai pihak, termasuk Palestina, negara-negara Arab, serta dua negara tetangga Australia, yaitu Indonesia dan Malaysia. Menanggapi sikap tersebut, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Arrmanatha Nasir, menyerukan agar Australia dan seluruh anggota PBB mengakui kedaulatan Palestina dan berkomitmen terhadap penyelesaian damai berdasarkan prinsip solusi dua negara (two-state solution) (Sekarwati, 2024). Dari pihak Israel, media setempat menyampaikan kritik terhadap pengakuan Australia, menyebut bahwa pengakuan hanya terhadap Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel mencerminkan pengakuan implisit terhadap Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Sementara itu, Palestina dan Liga Arab menyesalkan langkah Australia yang dianggap terburu-buru, karena pengakuan ini dilakukan sebelum tercapainya kesepakatan damai yang menyeluruh antara Palestina dan Israel.
Pada 18 Oktober 2022, pemerintahan Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, membatalkan keputusan yang diambil oleh pemerintahan konservatif sebelumnya yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Canberra menegaskan kembali komitmennya terhadap penyelesaian konflik Palestina-Israel melalui solusi dua negara, yang menekankan pentingnya kedua negara tersebut dapat hidup berdampingan di masa depan. Keputusan pemerintah koalisi konservatif yang dipimpin oleh PM Scott Morrison pada tahun 2018, yang mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel, merupakan langkah kontroversial. Keputusan ini mengikuti tindakan serupa oleh Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, yang pada 6 Desember 2017 secara resmi mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel (Tempo, 2018).
Sebagai tindak lanjut, Amerika Serikat memindahkan Kedutaan Besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem pada 4 Mei 2018. Di bawah pemerintahan Partai Buruh yang dipimpin oleh PM Albanese, Australia membatalkan pengakuan yang diberikan oleh pemerintah Morrison terhadap Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel. Menteri Luar Negeri Penny Wong menyatakan bahwa Canberra tetap berkomitmen pada solusi dua negara, yang diharapkan memungkinkan Israel dan negara Palestina di masa depan hidup berdampingan secara damai dan aman berdasarkan perbatasan yang diakui secara internasional. Wong menuduh keputusan Morrison, yang mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel, didorong oleh kepentingan politik, khususnya dalam upaya meraih dukungan dari komunitas Yahudi yang signifikan di sekitar Sydney menjelang pemilu sela. "Ini adalah permainan sinis yang tidak berhasil untuk memenangkan kursi Wentworth dalam pemilu sela," ujarnya, merujuk pada wilayah di barat daya New South Wales yang merupakan basis komunitas Yahudi. (Saju, 2022).

Kesimpulan
Australia menunjukkan perubahan signifikan dalam kebijakan luar negerinya terhadap konflik Palestina-Israel pada tahun 2024. Dukungan Australia terhadap resolusi PBB yang menyerukan diakhirinya pendudukan ilegal Israel di wilayah Palestina mencerminkan pergeseran dari sikap abstain yang sebelumnya menjadi ciri pendekatan diplomatik negara tersebut. Perubahan ini tidak hanya menggambarkan evolusi posisi Australia dalam geopolitik internasional tetapi juga memperlihatkan komitmennya terhadap prinsip-prinsip hukum internasional, khususnya dalam mendukung kedaulatan Palestina di wilayah yang diakui secara internasional.
Peran Australia dalam konflik ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang hubungan bilateralnya dengan Israel. Dari kontribusi pada pembentukan negara Israel hingga pengakuan terhadap Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel, kebijakan Australia sering mencerminkan hubungan dekat dengan negara tersebut. Namun, keputusan pemerintahan Anthony Albanese untuk membatalkan pengakuan Yerusalem Barat pada tahun 2022 dan kembali menekankan solusi dua negara menunjukkan upaya untuk menciptakan keseimbangan yang lebih adil dalam konflik ini. Langkah ini juga menunjukkan pergeseran dari pendekatan politik yang dipengaruhi oleh tekanan domestik menuju kebijakan yang lebih berorientasi pada penyelesaian konflik secara damai. Dukungan terhadap resolusi PBB ini menempatkan Australia sejajar dengan mayoritas komunitas internasional dalam mengakui pentingnya penyelesaian konflik melalui jalur diplomasi dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Meskipun demikian, perubahan kebijakan ini tetap menghadapi tantangan domestik dan internasional, termasuk kritik dari negara-negara sekutu dan reaksi dari komunitas domestik tertentu. Keputusan ini mencerminkan komitmen Australia terhadap prinsip keadilan global dan multilateralisme, yang diharapkan dapat berkontribusi pada upaya penyelesaian konflik Palestina-Israel yang sudah berlangsung lama.


Daftar Pustaka

Brown, D. (2001). 1956: Suez And the End Of Empire. The Guardian; Guardian News & Media Limited or its affiliated companies. https://www.theguardian.com/politics/2001/mar/14/past.education1

Łapaj-Kucharska, J. (2023). A long-distance affair: an overview of Australian-Israeli

relations. Israel Affairs, 29(3), 575–586. 

https://doi.org/10.1080/13537121.2023.2206227 

Mandel, D. (2004). HV Evatt and the establishment of Israel: the undercover Zionist. Routledge.

Miller, B & Ryan , B . (2024). Australia changes position to support vote demanding Israel end occupation of Gaza, East Jerusalem and West Bank. (2024, December 3). ABC. Retrieved December 12, 2024, from https://www.abc.net.au/news/2024-12-04/australia-un-vote-israel-occupied-palestinian-territory/104682246?utm_source=abc_news_web&utm_medium=content_shared&utm_campaign=abc_news_web 

Saju, P. S. B. (2022, October 18). Australia Tarik Pengakuan Atas Jerusalem Sebagai Ibu Kota Israel. Harian Kompas. https://www.kompas.id/baca/internasional/2022/10/18/australia-tarik-pengakuan-atas-jerusalem-sebagai-ibu-kota-israel?open_from=Search_Result_Page 

Sekarwati, S. (2024, December 6). Arrmanatha Nasir: Standar Ganda Di Gaza Merusak Sistem Multilateral. Tempo. https://www.tempo.co/internasional/arrmanatha-nasir-standar-ganda-di-gaza-merusak-sistem-multilateral-1177686 

Tempo. (2018). Amerika Serikat Resmi Pindahkan Kedutaan Besar Ke Yerusalem. Tempo. https://www.tempo.co/internasional/amerika-serikat-resmi-pindahkan-kedutaan-besar-ke-yerusalem-924612

 The Associated Press. (2018). Australia: We Recognize West Jerusalem As Israel’s Capital - Israel News. Haaretz; Haaretz Daily Newspaper. https://www.haaretz.com/israel-news/2018-12-15/ty-article/australia-officially-recognizes-west-jerusalem-as-israels-capital/0000017f-dee1-d3a5-af7f-feeff8790000  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun