Mohon tunggu...
fahri amirullah
fahri amirullah Mohon Tunggu... -

Fahri Amirullah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mungkin, Akan Ada Gerakan Besar-besaran untuk Netralisasi Politik Kampus

12 April 2014   15:05 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:46 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa kali saya membuat tulisan/status tentang apa yang seharusnya dilakukan mahasiswa khususnya aktivis dalam mengekspresikan dukunganya terhadap partai politik, baik tokoh ataupun pemikiran spesifik. Sebagai catatan yang harus digaris bawahi adalah, saya tidak begitu peduli dengan partai politik yang didukung, pemikiran, atau gerakan apapun yang menjadi afiliasi teman-teman mahasiswa. Saya begitu menghormati pilihan teman-teman, partai yang saya pilih mungkin sama dengan partai yang teman-teman pilih pemilu kemarin, saya menghormati kepedulian mahasiswa yang kritis terhadap masalah sosial dan politik di Indonesia, dan itu sangat penting dilakukan karena beban sejarah terhadap kata ‘Mahasiswa’ memang seharusnya membuat kita melakukan hal-hal yang dilakukan para senior kita dulu. Selama ideologinya jelas dan tidak termasuk salah satu yang dilarang oleh Pemerintah kita khususnya, itu adalah Hak yang sama sifatnya dengan Hak anda untuk minum, makan, memilih pada pemilu, dll. Tulisan ini sengaja saya buat dalam Suasana Pemilu agar mungkin bisa lebih dipahami dan didapatkan contoh-contoh yang jelas.

Di news feed Facebook saya misalnya, beberapa mahasiswa terus menerus update status tentang partai yang dipilihnya, tapi beberapa yang lain juga menghujatnya. Sekali lagi, ini bukan tentang partai-nya, tetapi yang saya persoalkan adalah bagaimana seharusnya teman-teman mahasiswa mengekspresikan dukunganya. Kalimat mahasiswa yang saya maksud spesifik pada teman-teman yang aktif di organisasi-organisai kampus seperti BEM, Himpro, DPM, dll (sebagai catatan, ini bukan bentuk generalsiasi. Banyak juga aktivis lain yang masih konsisten dengan cerdas mengekspresikan pemikiran politiknya). Hal ini tentunya tidak berlaku jika status anda adalah aktivis yang sudah lulus dari kampus. Menurut saya, saat ini teman-teman sudah terlalu ekspresif menyatakan afiliasinya ke partai politik/politik praktis, jikapun ada dan pasti semua mahasiswa sepakat bahwa memang benar ada politik praktis, maka tolong bermainlah ‘dengan cantik’. Saya memahami bahwa setiap gerakan punya tujuan, dan salah satu tujuanya pasti memberikan pengaruh kepada orang lain untuk meng-iya-kan apa yang menjadi tujuan gerakan tersebut. Tetapi melakukanya di kampus dengan terang-terang-an tidak begitu baik dilakukan dan mungkin akan mengakibatkan sesuatu yang tidak baik dalam jangka panjang.

Status Mahasiswa

Sejarah memberikan cukup banyak beban kepada status mahasiswa. Bahwa mereka adalah kelompok orang independen, mereka adalah kelompok pelajar yang tidak terlibat politik praktis, bahwa mereka selalu meneriakan gerakan mereka adalah politik nilai, meraka yang berjasa pada gerakan reformasi, mereka yang dikenang di peristiwa Malari, mereka yang diharapkan menjadi golongan pemuda yang tidak tersekat suku dan agama tetapi fokus pada manfaat apa yang bisa mereka berikan.

Teman-teman harus memahami bahwa status ini begitu prestige dan hanya sedikit sekali persentasinya dari seluruh pemuda/pemudi di Indonesia yang berhasil mendapatkannya,terlebih jika kita berhasil masuk di perguruan tinggi ternama. Di Sekolah dulu, ketua kelas yang membuang sampah sembarangan akan di cap lebih bersalah daripada anak lain yang membuang sampah sembarangan. Begitu juga dengan ketua osis, pengurus kelas, atau orang yang dengan status tertentu membuat dia diharuskan lebih menjadi contoh apa yang seharusnya orang baik lakukan karena statusnya. Begitu juga status mahasiswa, terlebih jika dia menjadi pengurus organisasi tertentu di kampus. Ketua Bem, Kepala Divisi, Presiden Mahasiswa, Ketua Lemabaga Dakwah, dan jabatan lain yang terdengar cukup berat bagi saya hingga saat ini. Anda bisa bayangkan betapa besarnya ekspektasi orang lain atau mahasiswa lain kepada anda dengan jabatan-jabatan yang dipercayakan kepada anda dari mahasiswa lain. Politik kepentingan seharusnya didahului oleh politik kebaikan. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa status ini memberikan beban lebih, bahwa teman-teman akan di cap lebih bersalah, bahwa ekspektasi orang lain lebih besar dari yang dibayangkan. Maka seharusnya kita lebih berhati-hati terhadap hal-hal normatif, kita lebih bijak ber-politik dikampus. Jangan pernah fanatik pada kebaikan relatif.

Ber-Afiliasi itu Manusiawi.

Beberapa orang mengaggap bahwa mahasiswa seharusnya independen, yang berarti tidak dipengaruhi oleh partai politik tertentu, pemikiran tokoh, ataupun gerakan lain. Hal ini menurut saya tidaklah benar, karena hampir tidak mungkin sebuah gerakan khususnya gerakan mahasiswa tidak dipengaruhi oleh gerakan lain. Independen dalam pengertian saya adalah, menerima semua kebaikan universal tanpa terkecuali dan tidak memberikan alasan apapun untuk menerima semua kesalahan yang bertentangan dengan kebaikan tersebut. Kebaikan universal yang saya maksud misalnya mencuri itu salah, berdoa itu benar, senyum itu benar, membantu orang menyebrang jalan itu benar dan semua norma positif yang tidak dipengaruhi kepentingan. Para pengagum pemikiran Natsir, Hatta, Soekarno, Tan Malaka, atau bahkan politisi masa kini  seperti Yusril, Anis Mata, Prabowo dll bebas mengekspresikan afiliasi pemikiran mereka dalam konteks kebaikan universal yang disebutkan. Apakah ketika saya membaca buku Serial Cinta Annis mata dan mengupdate status di FB quote kalimat yang saya suka maka saya simpatisan PKS? Atau ketika saya mengagumi biografi Yusril tentang kehebatanya dalam masalah hukum lalu saya simpatisan PBB? Saya kira tidak. Hanya jika yang saya kagumi adalah kebaikan universal maka itu penting untuk anda baca. Bahkan seharusnya kita membaca banyak lagi buku-buku pemikiran para tokoh seperti Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Natsir dll. Jadi jika teman-teman masih berpikir bahwa jika ada mahasiswa lain yang selalu update status tentang kata-kata cinta Annis Matta, Kultweet Fachri Hamzah, Kewibawaan Prabowo diatas Kuda nya, InfoGrafis Anies Baswedan, dan apapun yang merupakan kebaikan universal maka dia berpihak/afiliasi, ya itu benar dan itu tidak salah. Yang salah adalah jika anda mengaburkan kebaikan universal yang disebutkan karena anda sudah tidak lagi independen (lihat pengertian diatas).

Misalnya saat seorang politisi tersangkut Kasus Korupsi, beberapa mahasiswa yang mendukung partainya terus menerus membela habis-habisan bahkan bisa saya bilang hampir membabi buta membela politisi tersebut. Share semua artikel yang memuat sisi baik politisi tersebut, berdebat tidak logis, dll. Saya tidak mempersoalkan apakah kemudian politisi tersebut terbukti bersalah atau tidak, sekali lagi yang saya persoalkan adalah cara mahasiswa mengekspresikan dukungannya terhadap partainya. Dalam negara hukum, permasalahan benar salah diputuskan melalui pengadilan, maka ketika seseorang di vonis menjadi tersangka itu adalah keputusan legal. Contoh dukungan yang menurut saya tidak tepat dilakukan sebagai mahasiswa misalnya statement-statement berikut, ‘Saya percaya politisi tersebut tidak bersalah, beliau membaca kitab suci setiap hari, dan selalu beribadah’. Argumen ini bisa saya sebut tidak logis karena sebagai aktivis mahasiswa seharusnya teman-teman bisa berpendapat/membela lebih logis dengan memperdebatkan masalah hukum dengan fakta hukum lainya. Jika logika tersebut berlaku, lalu kenapa teman-teman tidak membela Kementrerian Agama yang menjadi Kementerian paling korup di Indonesia dengan logika seperti itu, seharusnya anda juga mengatakan saya tidak percaya mereka korupsi, mereka selalu membaca kitab suci setiap hari. Masyarakat atau mahasiswa lain tidak begitu peduli apakah politisi yang dimaksud atau pegawai Kementerian tersebut benar-benar terbukti bersalah atau tidak, mereka hanya tahu korupsi itu salah dan pengadilan membuktikanya. Masalah apakah itu konspirasi, kasusnya di politisi, atau ternyata sang politisi di vonis terbukti tidak bersalah pada akhirnya bukan soal bagi publik. Publik hanya tau korupsi bertentangan dengan kebaikan universal, berpendapatlah dari kacamata kebaikan tersebut. Bagaimana jika politisi tersebut benar-benar terbukti bersalah, apa kemudian teman-teman akan tetap membelanya dengan alasan yang semakin tidak logis, lalu makin disalahkan karena dianggap taklid buta oleh mahasiswa lain. Jika pendapat/dukungan yang disampaikan lebih ‘elegan’ apapun vonis akhir pengadilan, teman-teman akan tetap benar karena yang didukung bukanlah siapanya, tapi kebaiakan universalnya. Tugas mahasiswa lah yang seharusnya melakukan kajian ilmiah dan lebih detail untuk pencerdasan. Bukan kah itu yang selalu jadi jargon gerakan Sospol di kampus, politik nilai, politik kebenaran universal?. Mungkin ini salah satu contoh dukungan yang lebih baik, ‘Bagi kami, Korupsi berapapun jumlahnya adalah pelanggaran hukum. Kami termasuk dalam golongan terdepan yang  akan menuntut politisi partai X mempertanggung jawabkan kesalahanya jika benar bersalah, tetapi kami juga termasuk dalam golongan terdepan yang menyambutnya kembali dan mendukung perjuangannya jika beliau tidak bersalah…’ Saya yakin pernyataan ini akan lebih mengundang simpati daripada bantahan lain karena hanya mengandung kebaikan universal.

Belajar dari Pedagang

Beberapa hari yang lalu saya membaca artikel tentang cara memasarkan produk. Ada pedagang yang sangat ngecap menjual produknya ada juga yang lebih elegan. Pedagang pertama menerangkanya dengan berlebihan, bahwa produknya paling baik, produk sapu jagad, tidak terkalahkan, seperti yang pernah saya lihat pada member MLM tertentu (tentunya tidak semua MLM dan tanpa bermaksud melakukan generalisasi), apapun pertanyaan klien akan dijawab dengan sangat percaya diri bahwa produknya mampu mengobatinya, masalah nanti produknya benar-benar berhasil atau tidak bukan perkara, yang penting produknya terjual untuk mencapai target, pembeli akan membelinya Karena terpengaruh, obatnya terjual cepat, tapi pembeli tidak akan pernah kembali jika obatnya tidak terbukti, bahkan pembeli akan enggan bertanya lagi tentang obat penyakit lain karena sudah pasti pedagang akan menjawabnya dengan produk MLM nya. Pedagang pertama mungkin hanya tau obatnya lah yang ampuh karena itulah yang selalu di dengar di seminar MLM nya, setiap pekan mendapatkan informasi yang sama, diberikan buku-buku yang harus dibaca yang berisi hebatnya perusahaan induk MLM nya, kehebatan obat-obatnya, kehebatan agent yang sudah menjadi milyarder. Mereka tidak siap menerima informasi bahwa ada obat lain yang sama ampuhnya di luar produknya, atau ada obat yang memang tidak ampuh, karena memang info tersebut tidak pernah mereka dengar di seminar mereka atau pelatihan-pelatihan yang mereka dapat. Pedagang kedua menjawab pertanyaan dengan lebih detail, menerangkan bahwa ada beberapa obat yang sama, merekomendasikan mana yang lebih ampuh, mana yang lebih murah, mana yang lebih cocok bagi klien, pengetahuannya lebih luas sehingga pembeli lebih percaya saranya, mendapatkan pilihan setelah diberikan informasi mana baik dan buruknya. Pembeli akan sering bertanya karena informasi yang didapatkan lebih universal,  pembeli tidak akan khawatir dibohongi karena pedagang akan merekomendasikan obat terbaik, bukan obat yang seolah-olah paling baik karena pedagang adalah member MLM tertentu. Meskipun dalam kenyataanya pedagang tersebut juga merupakan member MLM tertentu dan meyakini obat tersebut merupakan obat paling ampuh namun dia akan menjelaskannya lebih baik. Pedagang akan menjadi konsultan bagi pembeli, dalam jangka panjang pembeli mungkin akan menjaga hubungannya dengan pedagang, sehingga produknya tidak cepat habis hanya di awal, tapi berkelanjutan.

Inilah yang menurut saya terjadi di kalangan para aktivis yang menjadi kader atau simpatisan partai terntentu. Teman-teman mungkin bisa membayangkan dengan lebih jelas logika yang saya ceritakan dengan kondisi para aktivis mahasiswa saat ini. Idealnya, para aktivis mahasiswa bertindak seperti pedagang kedua yang sekalipun dia juga anggota MLM tertentu, dia akan tetap menjelaskan dengan lebih baik dan bijak sehingga pembeli tidak hanya akan mendapat obat tapi pengetahuan lebih. Sekali lagi, ini bukan tentang partainya. Ini tentang bagaimana seharusnya mahasiswa mengekspresikan dukungannya terhadap partai politik/pemikiran tertentu. Terlebih jika mahasiswa tersebut juga menjabat sebagai ‘pejabat kampus’ atau orang yang ‘diekspektasikan’ lebih suci.  Ilustrasi diatas bukan sebuah justifikasi negatif bagi aktivis, saya memahami bahwa pergerakan mahasiswa saat ini berapa pada masa transisi. Puluhan tahun yang lalu mahasiswa berjuang dengan visi yang jelas, kediktatoran misalnya, reformasi, HAM, dll. Saat ini media massa/pers sangat dominan, LSM dan beberapa organisasi masyarakat menjadi begitu superior dengan kajian dan data-datanya yang mencengangkan. Gerakan atau perjuangan yang dilakukan menjadi bias. Hal ini yang membuat para mahasiswa yang idealis, yang masih percaya mereka dapat dan harus melakukan sesuatu untuk negara mereka, yang darahnya mendidih melihat para koruptor membual di TV, kemudian membaiatkan dirinya di gerakan/partai yang dianggapnya mampu menyalurkan hasrat perjuangan. Bagi saya ini tidak salah, bahkan sangat baik, sekali lagi sangat baik. Saya juga mungkin akan melakukan hal yang sama. Namun yang perlu diperhatikan adalah kemudian bagaimana mengemas semangat tersebut kedalam aksi yang elegan dengan memperhatikan status mahasiswa teman-teman yang diekspektasikan harus lebih benar dari golongan manapun.

Tulisan ini dibuat bukan untuk menjustifikasi, dan masih cukup panjang karena masih banyak hal yang mungkin juga akan diperdebatkan tentang hal-hal yang lebih teknis. Kekhawatiran terbesarnya adalah jika nanti aktivis/pengurus organisasi mahasiswa tidak lagi dipercaya meskipun menyuarakan kebaikan universal karena di cap terlalu memihak/dipengaruhi partai politik tertentu. Bisa jadi beberapa tahun kedepan keresahan akan lebih terlihat, isu netralisasi kampus merebak, mahasiswa jenuh karena suasana politis di kampus yang sarat kepentingan. Jika ini terjadi, tentu dampak buruknya bukan hanya bagi organisasi mahasiswa tertentu, tapi tentu juga bagi gerakan politik tersebut. Saya berharap teman-teman bisa mengerti poin utama tulisan ini sebagai bahan interospeksi diri untuk pergerakan mahasiswa yang lebih baik.

Bogor, 12 April 2014

Fahri Amirullah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun