"Semua orang itu jenius. Tetapi jika anda menilai seekor ikan dari kemampuan memanjat pohon, ia akan menjalani hidupnya dengan percaya itu bodoh" -- Albert Einstein.
Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar quote tersebut dari seseorang, atau pernah membacanya dari sebuah buku. Sampai-sampai, kita merasa bahwa bagaimana cara berpikir seperti Albert Einstein sehingga bisa sejenius itu?
Eitss, sebelum kita mengupas cara berpikir seperti Albert Einstein, kita akan melihat sekilas latar belakangnya.
Albert Einstein lahir pada 14 Maret 1879 di Jerman. Tepatnya di Ulm, Wurttemberg. Ayahnya, Herman Einstein merupakan pekerja elektronika dan penjual keranjang burung. Adapun ibunya, Pauline merupakan seorang wanita keturunan Yahudi.
Sosok Einstein yang kita ketahui sebagai si jenius ternyata memiliki sisi kelam. Ada yang menyebut ia terkena Sindrom Asperger. Dan ia terkena disleksia sehingga menjadi sosok pemalu bahkan hingga berusia tiga puluh tahun, Einstein masih sulit berbicara.
Masa kecilnya hampir sama seperti anak-anak kebanyakan yaitu selalu bermain. Namun, Einstein tidak sekedar bermain, tetapi juga berimajinasi.
Karena bermain dan berimajinasi merupakan aktivitasnya di masa kecil. Maka tidak mengherankan jika Einstein dewasa menyampaikan sebuah statement yang begitu populer, yaitu Imajinasi itu lebih penting daripada pengetahuan.
Kesuksesan Einstein tidak lepas juga dari penanan orang tuanya. Orang tua Einstein sangat kooperatif dan mendukungnya agar tidak berputus asa.
Melihat latar belakangnya, sulit untuk membayangkan jika tidak ada peranan orang tua untuk mendukungnya. Walaupun begitu, kita tidak akan sukses jika hanya didukung orang tua? Pasti ada kemampuan dalam diri yang menyokong Einstein menjadi sosok berpengaruh di dunia. Oleh karena itu, kita mengupas cara berpikir jenius ala Albert Einstein.
Rasa Ingin Tahu yang Besar