Mohon tunggu...
Mohammad Fahmi
Mohammad Fahmi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Apakah Kita Menangkan di Hari Kemenangan?

6 Juli 2016   18:21 Diperbarui: 6 Juli 2016   18:27 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Idulfitri merupakan hari kemenangan bagi umat Muslim di seluruh dunia. Kemenangan dari apa? Ada bermacam pemaknaan atas istilah ini, tapi yang paling umum diterima adalah kemenangan atas keberhasilan menghadapi ujian menahan hawa nafsu selama sebulan penuh bulan Ramadan. Namun, apakah sekadar menyelesaikan tiga puluh hari puasa saja cukup untuk mengatakan diri kita telah memperoleh kemenangan? Itu semua relatif.

Saya cukup sering mendengar kenalan yang mengatakan bahwa mereka tidak merasakan suasana Idulfitri seperti ketika kecil dulu. Semacam ada pesona tersendiri yang hilang dari perayaan ini. Saya pun merasakan hal tersebut, dan awalnya saya kira ini terjadi karena tidak seperti anak-anak, saya tidak menikmati yang namanya baju baru, uang lebaran, atau pun nikmatnya dibebaskan makan nastar, lidah kucing, dan putri salju sepuas hati di siang hari setelah melihatnya terpajang di lemari makanan berminggu-minggu sebelumnya.

Hal tersebut tidak sepenuhnya salah, karena memang seiring kita beranjak dewasa, kita tidak lagi peduli akan baju baru yang sepertinya hanya dibelikan sebelum lebaran, kita tidak menerima uang lebaran, yang ada malah mengeluarkan, dan jika kita mau kita bisa saja menikmati kue-kue lebaran bila-bila menginginkannya. Tapi selain itu ada hal lain yang membuat hari kemenangan terasa datar seiring kita beranjak dewasa, dan hal tersebut adalah dari standar hal yang kita perbuat selama Ramadan.

Ketika kecil, sukses melaksanakan puasa bedug saja merupakan pencapaian besar. Semakin bertambah usia, sukses menjalankan ibadah puasa tiga puluh hari tanpa bolong sudah menjadi sesuatu yang sangat dibanggakan. Namun, ketika kita beranjak dewasa, hal-hal tersebut tidaklah cukup. Standar kita untuk merasakan kemenangan jadi lebih berat, dan tidak mudah untuk mencapainya.

Standar ini berbeda tiap orang. Ada yang menilainya dari apa saja yang berhasil dia lakukan selama Ramadan, ada juga yang menilainya dari apa saja hal yang berhasil tidak ia lakukan di bulan suci. Apa pun standarnya, seberapa pun remehnya atau beratnya standar tersebut di mata orang lain, jika kita berhasil mencapainya dan meningkatkannya dari tahun-tahun sebelumnya, tentunya perasaan kemenangan di hari raya itu akan mendatangi hati kita secara otomatis.

Bagaimana dengan saya sendiri? Saya jelas merasa tidak menang. Banyak hal yang masih bisa ditingkatkan, banyak hal juga yang masih bisa dikurangi. Menang atau tidak yang jelas saya tahu, saya harus bisa lebih baik tahun depan, dan tahun ke depannya lagi, demi merasakan kemenangan yang membahagiakan seperti yang saya rasakan ketika kecil dulu.

Apa pun pilihan ucapan yang kamu terima, baik itu “taqabbalallahu minna wa minkum”, “minal aidin wal faidzin”, “selamat lebaran”, dan lainnya, saya tetap akan selalu menutupnya dengan:

Mohon maaf lahir dan batin.

(Sumber gambar: Saibumi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun