Seperti hari-hari biasa di Jakarta, hari itu sangatlah panas. Aku sedang berada di bus yang bergerak menuju ke pusat kota. Layaknya kebanyakan transportasi umum lainnya di Jakarta, udara yang panas di luar berubah jadi puluhan kali lebih panas di dalam bus yang berdesakkan, tidak ber-AC, dan memiliki ventilasi udara yang sangat buruk. Beginilah hari-hari hampir semua orang di Jakarta, seperti biasa.
Betapa buruknya keadaan di bus sekalipun tidak akan menghalangiku untuk melakukan hal yang produktif ... Oh yang kumaksud dengan produktif adalah aktivitas membaca buku atau memainkan game portabel di mesin yang aku miliki. Karena bermain game tidak akan terasa menyenangkan jika satu tanganku harus sibuk menjaga keseimbangan dengan berpegangan ke railing bus, jadi aku memutuskan untuk membuka buku yang belum lama aku beli, sebuah kopi dari The Elephant Vanishes yang ditulis Haruki Murakami, sambil ditemani dengan alunan musik yang diputar secara acak melalui iPod yang aku bawa.
Meskipun keadaan di dalam bus cukup ramai, setidaknya aku masih memiliki sedikit ruang untuk berdiri sambil bersandar ke pinggiran kursi. Selain aku, ada kurang lebih sepuluh orang lainnya yang juga berdiri di dalam bus, dengan seluruh bangku terisi penuh. Sebuah kondisi yang biasa terjadi di Jakarta pada hari Sabtu libur panjang seperti sekarang ini. Aku sendiri berdiri cukup dekat dengan pintu belakang bus, jadi aku tidak bisa mengatakan kalau keadaanku terlalu buruk juga.
Selama membaca, tidak jarang aku mengalihkan perhatianku dari buku ke lingkungan sekitar, takut melewatkan tempat tujuan atau sekedar memastikan tidak ada pencopet yang mengganggu. Ketika aku tengah memperhatikan sekitar itulah, mataku tiba-tiba terpaku kepada sesosok wanita yang tengah berdiri cukup dekat dengan pintu depan bus.
Cukup sulit mendeskripsikan wanita itu, karena memang bisa dibilang tidak ada ciri khas spesial yang melekat pada dirinya. Dia berdiri sambil bersandar juga di pinggiran kursi bus. Kacamata dengan frame tebal dan polesan make-up tipis melekat di wajahnya yang sangat manis untuk standar pribadiku. Earphone kecil terpasang di telinganya, entah musik apa yang tengah ia dengarkan dan entah benda apa yang menjadi sumber musiknya. Senyumnya terpampang tipis, dan pandangannya jarang terfokus ke satu tempat, selalu saja ada hal yang dia perhatikan, entah pemandangan di luar atau di dalam bus.
“Mungkin dia adalah orangnya,” sebuah pikiran absurd dan acak tiba-tiba terdengar di benakku.
Sebagai pemuda single yang terkadang bisa menjadi seorang hopeless romantic secara tiba-tiba, tidak jarang pikiran seperti itu terbesit di kepalaku. Fenomena yang aku beri nama Random Cuties ini bukanlah pertama kalinya terjadi. Sedikit saja aku melihat wanita di tempat umum yang memiliki penampilan fisik yang sesuai dengan seleraku, langsung muncul berbagai pikiran tentang apa yang terjadi kalau aku mengajaknya berkenalan.
Sambil memandanginya, aku teringat dengan seorang Random Cutie lain yang pernah aku temui dalam perjalanan kereta api Prameks dari Yogyakarta ke Solo. Wanita manis berambut pendek itu nampak sangat berbeda dari seluruh penumpang Prameks lainnya. Dia nampak bersinar dengan pakaiannya yang jelas tidak cocok dengan kereta seperti ini, apalagi dia membawa sebuah biola yang membuatku sangat tertarik dengannya. Sampai saat ini, aku masih mengingat wanita tersebut sebagai semacam unicorn yang pernah melintas dalam hidupku, dan ada kemungkinan wanita yang tengah kupandangi ini bisa menjadi unicorn lain dalam hidupku.
Ketika aku tengah terpaku memandangnya, tiba-tiba dia mengalihkan pandangannya ke arahku. Mata kami bertemu. “Shit!” ujarku dalam hati sambil kembali mengalihkan pandanganku ke arah buku yang tengah kubaca. Tapi tentu saja aku tidak bisa lagi berkonsentrasi kepada buku itu. Sesekali aku melirik ke arah wanita tersebut sambil berpikiran untuk mencoba mengajaknya berkenalan.
“Jangan gila! Kau mau dianggap seperti orang bodoh yang terlalu percaya diri untuk mengajak wanita tidak dikenal mengobrol di tengah keramaian? Bagaimana kalau dia tersinggung, atau lebih parah lagi ... bagaimana kalau dia jauh dari bayangan wanita sempurna yang sekarang ada di otakmu?!” suara ego yang sangat besar itu berteriak di dalam kepalaku.