Jember -- Sudah hampir sebulan publik terpusat perhatiannya ke Parlemen. Pembentukan Pansus Angket KPK menuai kritik dari segala pihak, penolakan dan kajiannya di lapangan sudah banyak sekali. Bahkan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara -- Hukum Administrasi Negara menilai adanya Pansus Angket KPK cacat secara prosedural dan substansial. Namun, bukan DPR namanya jika menuruti kemauan publik. "Wakil Rakyat" lebih mementingkan kepentingan sektoral mereka. Bagaimana tidak pimpinan dan anggota Pansus memilik kaitan langsung maupun tidak langsung terhadap Kasus Korupsi E-KTP.
Tiada hari jika kita melihat televisi yang tak ada berita tentang Pansus Angket ini. Seperti biasa, blow up media yang begitu masif membuat isu-isu krusial lain bangsa ini seolah tenggelam. Publik tergiring dan menikmati drama badut-badut Senayan yang penuh kemaksiatan. Lebih banyak isu krusial yang harus diselesaikan dibandingkan sibuk mencari celah untuk menjegal kinerja KPK.
Penyelesaian kasus penyiraman terhadap Novel Baswedan yang tak jelas adalah isu pertama yang hilang dari pemberitaan pasca hangat-hangatnya Pansus Angket KPK. Padahal sudah sekitar 2 bulan kepolisian melakukan penyelidikan, namun hasilnya nihil tak ada titik terang. Lalu kemana peran DPR seharusnya? Membentuk Tim Pencari Fakta ( TPF ) yang independen adalah hal yang urgen agar pengusutan kasus ini dapat berjalan secara efektif, tapi apa DPR mau? Jelas tidak, secara hitung-hitungan yang terjadi kepada Novel Baswedan tidak ada keuntungannya terhadap mereka.
RUU Pemilu
Isu kedua yang terpenting. Meskipun isu ini banyak dimunculkan di beberapa media, namun tetap saja nilai jualnya kalah dengan Pansus Angket KPK yang gurih. Padahal RUU Pemilu pembahasannya sudah mendekati batas waktu, jika musywarah pembahasan RUU Pemilu mencapai deadlockmaka akan ditentukan mekanisme voting. Secara politis voting sangat dihindari, karena sistem ini akan penuh dengan lobi-lobi politik.
Perdebatan tentang Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden tak kunjung usai. Satu kubu bersikeras bahwa seseorang yang mencalonkan Presiden harus memiliki dukungan minimal 20% di Parlemen, namun di lain sisi siapapun berhak mencalonkan Presiden tanpa ada syarat dukungan di Parlemen bahkan 1% pun dengan alasan itu adalah demokratis setiap warga negara.
Beberapa hari ini media sosial ramai dengan Hastag #OTTRecehan yang menyindir KPK karena OTT yang dilakukan atas Parlin Purba, Kasi Intel III kejati Bengkulu dengan nilai uang 10 juta rupiah. Nominal tersebut dianggap receh bahkan lebih besar anggaran untuk melakukan OTT berkaitan. Akan tetapi dalam perspektif penegakan hukum suap adalah suap, berapapun nominalnya. Banyak atau sedikt, korupsi tetaplah korupsi yang harus diberantas.
Padahal, korupsi receh inilah yang membuat negara kita kesulitan maju. Korupsi receh hampir selalu ada di setiap level birokrasi dalam proses administrasi. Sebagai masalah yang serius, meremehkan korupsi recehan jelas adalah blunder dan bisa menjadi boomerang. Korupsi adalah masalah kebiasaan dan pembiaran yang membuatnya menjadi sistematis, struktural dan masif. Mega korupsi yang dilakukan oleh para elit politik maupun birokrasi adalah muara dari kebiasaan korup dan apatisme sejak awal sehingga merupakan suatu hal yang permisif.
Sebagai penutup, kembali kepada Pansus Angket KPK. Bukan kali ini saja DPR melakukan serangan kepada KPK. Kita sadari Undang-Undang Tentang KPK bukanlah sebuah kitab suci yang mutlak dan tak bisa diubah. Sudah 12 tahun KPK hadir di negeri ini sehingga sesuai mekanisme checks and balances system sesuai prinsip demokrasi, dalam rangka mengawasi lembaga anti rasuah ini. Namun yang perubahan yang diperlukan adalah dengan menguatkan bukan malah melemahkan melalui Revisi UU KPK.