Jember - Isu yang mengusulkan jabatan hakim Mahkamah Konstitusi membuat beberapa kalangan khawatir, diinisiasi oleh para peneliti Center for Strategic Studies University Of Indonesia (CSS-UI. Mereka lalu mengajukan uji materi terhadap pasal 22 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). CSS-UI memohon MK menyatakan ketentuan pasal di UU MK tersebut tidak sesuai dengan UUD 1945.
Masa jabatan hakim konstitusi yang jika menjadi seumur hidup akan mengancam penegakan hukum di Indonesia. Perlu diingat jabatan yang terlalu lama apalagi seumur hidup, memungkinkan adanya celah para hakim merasa tidak dibatasi kewenangannya, dan berpotensi menyalahgunakan kekuasaan dalam mengadili suatu perkara konstitusi. Sehingga ditakutkan akan bermuara pada korupsi.
Apabila usulan uji materiil ini direalisasikan, banyak yang khawatir akan terjadi konflik kepentingan dalam internal para hakim. Hal ini bertentangan dengan asas “nemo judexidoneus in propria causa”. Dimana Hakim tidak boleh mengadili sesuatu yang didalamnya ada kepentingan dirinya. Berpandangan jauh, karena hal ini akan menimbulkan putusan yang tidak memenuhi keadilan oleh karena konflik kepentingan tadi.
Alasan permohonan uji materi yang mengusulkan masa jabatan hakim seumur hidup juga tidak beralasan kuat, yakni agar membuat hakim independen dalam memutus suatu perkara. Justru karena kekuasaan yang tidak dibatasi itulah akan berbahaya, putusan bisa menguntungkan pihak yang mengintervensi. Dasar usulan karena membandingkan hakim di negara lain yang seumur hidup membuat tak ada urgensi bagi Mahkamah Konstitusi untuk menerima usulan tersebut, mengingat Hukum di negara kita mempunyai kedaulatan dan perbedaan sendiri dibanding negara lain.
Masalah lain yang timbul adalah usia hakim, hal ini tak bisa dipungkiri. Faktor usia hakim yang semakin menua membuat penurunan kemampuan para hakim dalam memutus suatu perkara apalagi yang ditangani adalah hal fundamental terkait konstitusional. Hal tersebut dapat membahayakan, kasihan para pencari keadilan yang berkeinginan perkaranya diputus secara adil, qualified, dan cepat. Sekali lagi, jabatan seumur hidup sama halnya dengan memberikan kesempatan untuk menyalahgunakan kewenangan (abuse of power). Lebih penting adalah bagaimana memperbaiki budaya penegakan hukum yang ada di Indonesia.
Mahkamah Konstitusi pernah tercoreng namanya di tahun 2013, saat itu Ketua Mahkamah Konstitusi ditangkap karena menerima suap dalam perkara pilkada di salah satu wilayah di Indonesia. Sejak saat itu, trust publik merosot tajam terhadap lembaga ini. Adapula putusan yang dirasa tidak pro terhadap pemberantasan korupsi, dimana MK mengabulkan gugatan Setya Novanto tentang uji materiil “pemufakatan jahat”. Hal ini tentu mempengarui pandangan masyarakat terhadap MK yang semakin turun jauh.
Demi memperbaiki citra masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi, hendaknya lembaga ini menghasilkan putusan yang progresif dan anti korupsi. Jabatan hakim Mahkamah Konstitusi seumur hidup bukanlah solusi, bisa dibayangkan berapa besar korupsi yang dihasilkan dari kewenangan yang tak dibatasi dan diselewengkan.
*) Fahmi Ramadhan Firdaus
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H