Mohon tunggu...
Fahmi Ramadhan Firdaus
Fahmi Ramadhan Firdaus Mohon Tunggu... -

Constitutional Law Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hak Angket DPR ke KPK, Cicak vs Kebun Binatang?

5 Mei 2017   19:41 Diperbarui: 27 Mei 2017   00:10 1408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : facebook.com

Jember - Entah sampai kapan KPK bisa bekerja dengan tenang dalam memberantas korupsi, tekanan dari DPR yang selalu menemukan celah untuk melemahkan institusi selalu ada meski inkonstitusional. Yang terbaru adalah Hak Angket yang dilakukan beberapa anggota DPR terhadap KPK. DPR mendesak agar KPK membuka BAP tersangka kasus keterangan palsu dalam persidangan, Miriam Hariani (Fraksi Hanura).

DPR sangat terburu-terburu dan tidak sabaran serta sebenarnya melakukan hal yang sebenarnya bukan kewenangan mereka, karena cepat atau lambat BAP Miriam Hariani akan dibuka dalam persidangan. Namun bagaimanapun juga, DPR adalah lembaga politik dan anggotanya masih politisi bukan negarawan.

Hak Angket hanya terkesan untuk memperlambat dan membuat panik kinerja KPK dan akhirnya membuat internal KPK menjadi kacau. Mari kita lihat siapa yang menandatangani Hak Angket KPK yang bisa ditarik kesimpulan para pengusulnya adalah mereka yang partainya terkait korupsi e-KTP.

Inkonstitusional, hal itu jelas bisa ditafsirkan. DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan mempunyai 3 (tiga) hak yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Mengenai pengertian dan siapa subjek yang dapat dikenakan hak angket diatur dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3.

Pasal 79 ayat (3) UU MD3 mengatur: Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Mengenai subjek siapa yang tercantum dalam pasal itu adalah pemerintah dan lembaga non kementerian lainnya dan objek konkritnya adalah “kebijakan”. Secara teoritis, sesuai Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 KPK berkedudukan sebagai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.

Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 secara insplisit mengatur: Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Sesuai Pasal 6 huruf c Undang-Undang KPK menyebutkan fungsi KPK antara lain melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, jelas menunjukkan KPK termasuk dalam kategori Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.

Oleh karena kedudukan KPK tak dapat dipisahkan dengan kekuasaan kehakiman, maka keberadaan KPK tidak bisa dilepaskan juga dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur: Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Atas dasar Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 tersebut maka KPK dijamin independensinya untuk menjalankan wewenangnya, sama halnya dengan jaminan kepada Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi. Kemerdekaan yang dimaksud pada pasal tersebut adalah bebas dari pengaruh dan intervensi pihak mana pun dalam menjalankan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Karena Hak Angket ini adalah inkonstitusional dampaknya hak angket ini harus dianggap batal demi hukum dan tidak ada efek kelanjutannya. Jika DPR tetap memaksakan penggunaan hak angket tersebut, maka sesungguhnya DPR tidak hanya melanggar undang-undang saja tapi juga UUD NRI 1945 konstitusi tertinggi Indonesia.

Pertanyaan kita sekarang, bagaimana cara untuk menguatkan KPK tanpa harus merevisi undang-undangnya? Usia KPK sekarang 15 tahun, dan tentu saja harus ada evaluasi terkait kinerja KPK. KPK memang lembaga yang punya kewenangan extra namun bukanlah lembaga yang punya kewenangan over.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun