Jember - Penayangan persidangan secara live menuai pro kontra. Banyak yang berpendapat sidang harus disiarkan secara live agar transparan, disisi lain ada yang kontra dengan alasan hal ini akan membuat perang opini di masyarakat yang menimbulkan perpecahan belum lagi ditakutkan putusan hakim bisa dipengaruhi oleh tekanan opini masyarakat. Hal ini direspon oleh Dewan Pers yang mengatakan bahwa persidangan boleh disiarkan secara live. Namun perlu digaris bawahi hanya yang bersifat materi-materinya saja semisal dakwaan, eksepsi, penuntutan dan putusan.
 Sedangkan terkait pemeriksaan saksi dan ahli, Dewan Pers tidak merekomendasikan karena hal ini sangat rawan. Seseorang bisa saja tidak nyaman ketika menjadi saksi di pengadilan lalu disaksikan oleh masyarakat luas yang disiarkan secara langsung. Selain itu dalam pasal 159 KUHAP bahwa saksi satu dengan yang lainnya tidak boleh mendengar dan menjadi kewajiban majelis hakim untuk memisahkan mereka, berarti dengan disiarkan secara langsung. Saksi yang seharusnya berada diluar persidangan menunggu dipanggil dia bisa mendengar melalui secara langsung.
Berkaca dari Kasus Antasari Azhar, ada seoarang saksi ahli yang menjelaskan terlalu detail masuk ke pornografi. Kedua dari kasus kopi sianida dimana praduga tak bersalah tak berlaku lagi, melalui media yang menyiarkan secara live masyarakat bisa menjadi hakim hanya dengan melihat gerak – gerik terdakwa lalu mengadili Jessica yang belum tentu bersalah ( saat ini masih banding )
KUHAP tidak mengatur persidangan disiarkan secara langsung, jadi KUHAP hanya mengatur ketua majelis sidang membuka persidangan dan dibuka untuk umum, kecuali untuk kasus yang terdakwanya anak dan kesusilaan. Sidang terbuka untuk umum maknanya hanya ruang persidangan saja, jadi pengunjung bisa masuk dan menyimak jadi tak bisa dimaknai jika terbuka untuk umum maka bisa disiarkan secara langsung.
Lalu jika tidak ada regulasinya dimana kita mengacu? Kita bisa melihat pasal 217 KUHAP yang berbunyi, ketua majelis hakim yang menurut jabatannya memimpin persidangan dan memastikan persidangan itu tertib dan lancar, sehingga ketua majelis mempunyai otoritas bisa memutuskan persidangan disiarkan secara live atau tidak.
Kunci persidangan ada pada pembuktian, sehingga karena jabatannya ketua majelis hakim harus mampu memilih mana yang bisa disiarkan secara langsung atau tidak, hakim seharusnya bisa memahami kedepan apabila peradilan disiarkan secara langsung karena bukan tidak mungkin terjadi pengadilan oleh massa dan mengganggu objektivitas.
Mulanya siaran langsung ditujukan untuk menguatkan asas praduga tidak bersalah, namun perkembangannya hal ini seakan tak berlaku lagi. Siaran langsung berdampak pada keselamatan saksi dan ahli lalu kemurnian soal keterangannya dan independensi peradilan. Bayangkan jika para hakim melihat talkshow di televisi yang membahas perkara yang sedang ditanganinya maka bisa saja dia tergoncang dan mencederai objektivitasnya.
Kembali lagi kepada media, pers tidak boleh memberitakan orang bersalah sebelum adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Seringkali kita mendapati judul yang menjustifikasi seseorang bersalah sehingga menggiring opini publik dan menimbulkan persidangan oleh massa. Hak seorang terdakwa harus dihormati, media jangan hanya mengejar rating demi keuntungan. Peranan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia sangat dibutuhkan dalam pengawasan. Media harus mempunyai aturan sendiri untuk menjaga liputannya yang berintegritas supaya tak ada lagi kecaman dan boikot terhadap media.
Jutaan massa sekalipun tak akan mempengaruhi sedikitpun putusan. Peradilan haruslah membuat putusan yang progresif. Hakim harus mempunyai independensi dalam memutus dan tak terpengaruh oleh opini dan tekanan massa. Bukan demonstrasi yang berhak memutuskan seorang bersalah, hukum dan lembaga pengadilan yang berhak menentukannya. Inilah yang dilakukan Rasulallah Muhammad SAW di Madinah beberapa abad silam.
Â
*) Fahmi Ramadhan Firdaus
 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember