Pendahuluan
Terdapat sebuah pribahasa latin yang berbunyi “Si vis pacem, para bellum”, yang artinya jika kau mendamkan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang. Pribahasa itulah kira-kira yang mengambarkan situasi saat ini, dimana negara-negara berkompetisi membuat senjata nuklir dengan dalih perdamaian. Salah satu yang menjadi konsen dunia saat ini adalah kontestasi nuklir di semenanjung korea. Semenanjung Korea telah lama menjadi salah satu wilayah paling dinamis dalam politik global. Konflik yang berkepanjangan antara Korea Selatan dan Korea Utara, serta keterlibatan aktor besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang, menjadikan kawasan ini pusat perhatian strategis dunia. Di tengah ketegangan geopolitik yang berlanjut, ancaman nuklir dari Korea Utara semakin memperkeruh situasi. Pengembangan program senjata nuklir oleh Korea Utara bukan hanya menimbulkan ancaman langsung bagi stabilitas regional, tetapi juga memiliki potensi menciptakan dilema global yang lebih luas.
Di tengah pusaran ketegangan militer dan ancaman nuklir yang terus membayangi, sebuah domain baru telah muncul yakni cyber diplomacy. Cyber Diplomacy, yang dulunya dianggap sebagai alat pendukung, kini menjadi alat utama dalam pertarungan memperebutkan pengaruh dan keamanan regional. Dalam "perang bit dan bom" ini, setiap kata yang diketik, setiap kode yang dijalankan, memiliki potensi untuk memicu konflik berskala besar atau membuka jalan menuju perdamaian.
Dalam beberapa dekade terakhir, serangan siber menjadi alat yang efektif untuk mengganggu infrastruktur kritis, mencuri data intelijen, dan merusak stabilitas politik negara-negara. Di Semenanjung Korea, ancaman ini semakin relevan karena berbagai insiden serangan siber yang melibatkan Korea Utara. Misalnya, serangan terkenal terhadap Sony Pictures pada 2014, yang diyakini dilakukan oleh aktor siber dari Korea Utara, menunjukkan betapa kompleks dan berbahayanya ancaman ini bagi keamanan nasional negara-negara di sekitar Semenanjung Korea.
Dalam menghadapi ancaman ganda ini nuklir dan siber, strategi diplomasi konvensional menjadi semakin tidak memadai. Oleh karena itu, munculnya cyber diplomacy sebagai salah satu instrumen diplomatik modern memberikan peluang baru dalam mengatasi eskalasi konflik. Cyber diplomacy memungkinkan negara-negara untuk mengatasi konflik yang berkaitan dengan keamanan siber dan nuklir melalui dialog diplomatik yang lebih terarah, dengan memanfaatkan teknologi sebagai alat komunikasi dan negosiasi. Melalui pendekatan ini, negara-negara dapat bekerja sama untuk mengurangi ketegangan, membangun kepercayaan, serta memperkuat keamanan nasional di tengah tantangan global yang semakin kompleks.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana cyber diplomacy dapat berperan dalam menjaga stabilitas keamanan di Semenanjung Korea di tengah ancaman siber terhadap senjata nuklir. Melalui kajian ini, akan dieksplorasi bagaimana teknologi dapat digunakan sebagai alat diplomasi inovatif untuk mengurangi eskalasi konflik dan memperkuat keamanan nasional di kawasan yang sarat dengan ketidakpastian.
Eskalasi Konflik di Semenajung Korea
Ancaman nuklir dari Korea Utara telah menjadi bayang-bayang kelam di semenanjung Korea dan kawasan Asia Timur selama beberapa dekade. Program nuklir Korea Utara memiliki pangkal sejarah yang panjang, dimulai sejak tahun 1952 dengan pendirian Institut Riset Atom di bawah pemerintahan DPRK (Democratic People's Republic of Korea). Menariknya, fondasi teknologi yang mendukung program ini telah mulai terbentuk selama masa penjajahan Jepang di Korea, khususnya di dekat kota Heungnam (sekarang Hamhung), di mana uranium ditambang serta diproses. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Korea Utara berhasil mewarisi sumber daya dan pengetahuan teknis yang didapat dari proyek Jepang tersebut.
Program nuklir Pyongyang yang terus berkembang, ditandai dengan serangkaian uji coba senjata nuklir dan rudal balistik, beberapa di antaranya memiliki jangkauan yang dapat mencapai AS. Sejak tahun 2022 Korea Utara terus mengembangkan rudal jelajah yang diluncurkan dari kapal, sementara Amerika telah berulang kali unjuk kekuatan termasuk latihan militer menggunakan pesawat berkemampuan nuklir dan kunjungan kapal selam bersenjata nuklir ke Korea Selatan.
ICAN (International Campaign to Abolish Nuclear Weapon) melaporkan bahwa Amerika Serikat dan Korea Selatan sepakat untuk memperkuat kerja sama dalam perencanaan penggunaan senjata nuklir, setelah Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, sebelumnya memberikan isyarat bahwa Seoul mungkin akan mempertimbangkan pengembangan senjata nuklir sendiri. Dalam pengumuman kesepakatan tersebut, Presiden AS Joe Biden memperingatkan bahwa jika Korea Utara menggunakan senjata nuklir, maka rezimnya akan berakhir. Selain itu, pada tahun 2023 terdapat sebuah latihan militer gabungan terbesar antara AS dan Korea Selatan, melibatkan pesawat berkemampuan nuklir, di tengah retorika nuklir yang semakin memanas dari Pyongyang. Korea Utara berulang kali menuduh Washington dan Seoul mendorong kawasan tersebut ke ambang perang nuklir. Selain meluncurkan lebih dari 40 uji coba rudal pada tahun sebelumnya, Korea Utara juga mengesahkan undang-undang baru pada 2022 yang menetapkan status senjata nuklirnya sebagai "irreversible" atau tidak dapat diubah, menolak segala negosiasi terkait denuklirisasi, dan yang paling mengkhawatirkan, memungkinkan penggunaan senjata nuklir sebagai tindakan pencegahan.