Mohon tunggu...
Fahmi Ramadan
Fahmi Ramadan Mohon Tunggu... Petani - Petani (Penyangga Tatanan Negara Indonesia)

Hobi membuat hobi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cyber Influence Operation in the South China Sea: Pertempuran Tanpa Senjata pada Era Digital di Laut Cina Selatan

22 Mei 2024   21:51 Diperbarui: 22 Mei 2024   22:22 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu contoh operasi pengaruh siber Cina adalah publikasi artikel dan berita di situs web dan media sosial yang dikelola oleh pihak luar negeri. Konten ini sering kali dikemas dengan narasi yang menguntungkan Cina, seperti menekankan klaim maritim historis Cina di Laut Cina Selatan, mengkritik negara-negara pengklaim saingan atas aktivitas mereka di wilayah tersebut, dan memuji proyek infrastruktur Belt and Road Initiative (BRI) Cina di Laut Cina Selatan [10]. Operasi pengaruh siber ini dilakukan dengan cerdik, dengan menggunakan situs web dan media sosial yang tampaknya tidak berafiliasi dengan Cina. Hal ini bertujuan untuk mengelabui pembaca dan membuat mereka percaya bahwa informasi yang mereka konsumsi adalah objektif dan netral.

Penerbitan berita palsu.

Menurut laporan dari Newsguardtech, sebuah organisasi yang menilai kredibilitas media, Cina telah membangun jaringan situs web dan akun media sosial palsu yang digunakan untuk menyebarkan berita palsu dan disinformasi tentang Laut Cina Selatan.

Pemerintah Cina memalsukan satu dari setiap 178 postingan media sosial. Komentar dan kampanye difokuskan dan diarahkan pada isu-isu tertentu [11]. Operasi pengaruh media sosial dalam negeri berfokus terutama pada ‘cheerleading’ atau menyajikan atau memajukan narasi positif tentang negara Tiongkok.

Pada tahun 2020, sebuah artikel yang beredar di media sosial Cina mengklaim bahwa seorang nelayan Filipina telah mengakui kedaulatan Cina atas Kepulauan Spratly. Artikel ini kemungkinan besar dibuat-buat untuk mendukung klaim maritim Cina di Laut Cina Selatan. Klaim ini telah dibantah oleh pemerintah Filipina dan tidak ada bukti yang mendukungnya [12]. Selain itu, pada tahun yang sama terdapat narasi “Kapal Perang Indonesia Diusir Paksa oleh Coast Guard Cina di dekat Kepulauan Natuna” [13]. Narasi ini mengklaim bahwa kapal perang Indonesia telah diusir dengan cara yang agresif oleh Penjaga Pantai Cina di dekat Kepulauan Natuna, wilayah yang diklaim oleh Indonesia. Cerita ini mungkin dibumbui dengan rincian yang sensasional dan rekaman video yang diedit untuk terlihat meyakinkan. Tujuannya adalah untuk memicu sentimen anti-Cina di Indonesia dan merusak hubungan bilateral Pada tahun 2021, sebuah video yang beredar di internet menunjukkan armada kapal perang Cina yang besar berpatroli di Laut Cina Selatan. Video tersebut diklaim sebagai bukti kekuatan militer Cina di kawasan tersebut. Video tersebut kemungkinan dimanipulasi. Analisis ahli menunjukkan bahwa beberapa kapal dalam video tersebut sebenarnya adalah kapal yang sama yang direkam dari sudut yang berbeda [14]. Pada tahun 2022, sebuah artikel di surat kabar Cina menuduh bahwasanya Vietnam melakukan kegiatan penangkapan ikan ilegal di perairan Cina. Artikel ini kemungkinan bertujuan untuk mendiskreditkan Vietnam dan memicu ketegangan di Laut Cina Selatan. Vietnam telah membantah tuduhan tersebut dan menunjukkan bukti bahwa mereka beroperasi di wilayah perairan mereka sendiri [15].

Penerbitan konten besar-besaran tentang topik tertentu.

Salah satu strategi yang digunakan Cina dalam Operasi Pengaruh Siber di Laut Cina Selatan adalah dengan menerbitkan konten besar-besaran tentang topik tertentu. Hal ini bertujuan untuk membanjiri ruang informasi dengan narasi yang menguntungkan Cina, memanipulasi opini publik, dan mengaburkan fakta.

Pada tahun 2020, Cina meluncurkan kampanye di sosial media dengan hashtag #南海主权不容侵犯 (Kedaulatan Laut Cina Selatan Tidak Boleh Dilanggar) di media sosial. Kampanye ini diiringi dengan postingan massal dari akun-akun resmi Cina, media pemerintah, dan netizen yang mendukung klaim maritim Cina di Laut Cina Selatan [16]. Kampanye hashtag ini bertujuan untuk memicu sentimen nasionalis di Cina dan menunjukkan dukungan luas terhadap klaim maritimnya.

Selain itu, Cina memproduksi dan menyebarkan konten propaganda dalam jumlah besar untuk mempromosikan narasinya tentang Laut Cina Selatan. Konten ini dapat berupa artikel berita, video, gambar, dan infografis yang menggambarkan Cina sebagai negara maritim yang damai dan bertanggung jawab [17]. Konten propaganda ini bertujuan untuk memanipulasi opini publik dan menjustifikasi klaim maritim Cina.

Perubahan opini publik secara mendadak.

Cina dikenal gencar melancarkan Operasi Pengaruh Siber di Laut Cina Selatan, salah satu strateginya adalah dengan memicu perubahan opini publik mendadak untuk mendukung narasi dan kepentingannya di wilayah tersebut. Perubahan opini mendadak ini bertujuan untuk memanipulasi persepsi publik dengan cepat dan drastis, biasanya melalui penyebaran informasi yang salah, propaganda, dan kampanye media sosial yang terkoordinasi [18].

Penelitian terbaru mengungkapkan adanya peningkatan tajam dalam jumlah artikel dan komentar di media sosial yang mendukung posisi Tiongkok di Laut Cina Selatan[19]. Banyak dari konten ini berasal dari akun-akun yang dicurigai sebagai bot atau profil palsu yang dioperasikan oleh agen-agen Cina. Misalnya, pada September 2022, Facebook menghapus jaringan akun-akun palsu yang beroperasi dari Tiongkok dan menyebarkan informasi yang mendukung kebijakan Tiongkok, terutama menargetkan pengguna di Filipina dan Amerika Serikat [20].

Publikasi frasa-frasa negatif.

Untuk mencapai perubahan opini publik yang cepat dan efektif dalam kelompok atau forum yang relevan, frasa yang sangat negatif dapat digunakan dan mungkin mengindikasikan adanya influence operation.

Contoh dari taktik ini adalah kampanye disinformasi "Operation Naval Gazing" yang diluncurkan di Filipina. Kampanye ini melibatkan penyebaran konten yang sangat negatif dan menyesatkan melalui media sosial untuk mendiskreditkan kebijakan Amerika Serikat dan mempromosikan narasi pro-Cina di wilayah tersebut [21]. Misalnya, akun-akun yang terlibat dalam kampanye ini sering kali mempublikasikan frasa-frasa radikal yang mengecam kehadiran militer Amerika Serikat di Laut Cina Selatan dan memuji klaim teritorial Cina yang kontroversial. Kampanye ini berhasil mendapatkan banyak perhatian dan interaksi digital, memperlihatkan efektivitas strategi siber Cina dalam mempengaruhi opini publik dan memperlemah aliansi antara Filipina dan Amerika Serikat.

Refleksi Akhir: Menghadapi Ancaman Siber Cina demi Kedaulatan Wilayah Laut Cina Selatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun