Politik, tahun 2014 adalah awal dari gerbang pendidikan politik yang cukup menyebar dan hampir merata di seluruh lapisan masyarakat, dari tingkat kota sampai tingkat desa, dari yang berumur tua, cukup tua, muda, cukup muda, sampai pada usia yang masih tergolong sangat muda, seolah politik menjadi bahan 'buah bibir' yang selalu hangat.
Sebelum tahun 2014 tepatnya pada acara-acara pemilihan presiden sebelumnya, saya dan mungkin sebagian sahabat saya juga ketika pesta rakyat (pemilihan umum langsung) mulai digulirkan, sangat biasa sekali menyikapinya; kampanye seadanya, menonton acara debat calon tanpa adu 'hastag', berangkat ke bilik pemungutan suara tanpa telinga panas, mencoblos gambar calonnya dengan sangat santai bahkan sambil lihat-lihat dulu gambar calon yang lain sambil menertawakan senyumnya yang terpaksa, pulang dari bilik pemungutan suara tidak ada tuh acara nonton bareng 'Quick Count' yang berlebihan sampai masak nasi tumpeng segala, semuanya sangat serba biasa dan tenang.
Jujur pada 'pilpres' tahun 2009 saya pilih Pak Jusuf Kalla (JK), tapi yang melenggang menjadi presiden malah Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tapi tidak masalah dan tidak ada buntut sampai pada persidangan hanya kurang percaya pada Komisi Pemilihan Umum, semua masyarakat menerimanya dengan sangat besar hati (baca: legowo), mungkin itu juga.
Tapi pemilihan presiden tahun 2014 sangat memberikan kesan luar biasa pada pengalaman pesta demokrasi yang bagi saya sungguh sangat 'kagok' merasakan dan melihatnya; media televisi saling serang demi menciterabaikan calon yang didukungnya, ahli-ahli desain grafis banjir dengan 'job' yang sangat dituntut untuk kreatif diatas rata-rata demi menciterabaikan calon yang didukungnya, media 'mainstream' pun tak kalah ikut sengitnya mendukung masing-masing calon, pun dengan media sosial (khusus media online) sangat mudah sekali menemukan berita hangat yang sangat aktual terhadap para calon, terlepas dari Hoax atau tidaknya berita tersebut.
Tidak bisa dipungkiri, disamping dampak positif pembelajaran demokrasi yang menyebar, dampak negatif dari kontestasi pemilihan presiden tahun 2014 tak kalah terasa, sebagian hubungan pertemanan menjadi renggang karena berbeda pilihan, situasi sosial di pedesaan menjadi sangat hangat setelah biasanya adem ayem, orang-orang yang dulunya kita anggap baik seketika jadi dianggap kurang baik karena beda pilihan, itu sebagian fakta yang saya alami.
Dan, imbas dari pemilihan presiden 2014 ternyata masih belum berakhir, banyak masyarakat dari kita sangat mudah terbawa perasaan (bahasa gaulnya baper) ketika dihadapkan pada situasi pemilihan pemimpin, yang dicari info pertama kali dari masing-masing calon adalah 'siapa partai atau tokoh pengusung setiap calon tersebut?' bukan 'bagaiman kerja nyatanya calon pemimpin tersebut selama ini?', meskipun tidak semua orang seperti itu.
Satu lagi, imbas dari pilpres 2014 ada banyak 'seliweran' status di jagat media sosial yang beraroma politik, entah disampaikan secara 'vulgar' atau secara 'semi vulgar', seolah ada banyak ahli politik baru bermunculan, termasuk saya mungkin.
Pada akhir tulisan ini saya ingin sedikit menyampaikan bahwa semua yang kita lakukan adalah untuk kebaikan bangsa kita, terlepas dari cara yang kita gunakan, berbeda pilihan sangat boleh kita tunjukan, tapi satu tujuan untuk menjadikan bangsa ini bertuhan, berkeadilan, beradab, bermoral dan sejahtera adalah mutlak untuk diperjuangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H