Satu hal yang lazim di kala memasuki tahun politik adalah upaya pencitraan yang semakin mengebu dari para kandidat baik untuk jabatan legislatif maupun eksekutif. Pencitraan menjadi satu kata kunci untuk meraih sukses menduduki jabatan yang diidamkan. Saat ini, bisnis konsultan politik, bisa jadi sangat menjanjikan. Para kandidat bisa dikemas sesuai “budget” dengan memanfaatkan media dan kesempatan yang ada.
Bagi yang masih menduduki jabatan politik, pencitraan bisa memanfaatkan berbagai kegiatan dinas. Dari mulai kunjungan ke pasar-pasar, terminal dan berbagai tempat keramaian lainnya. Intinya adalah mendapatkan liputan atau perhatian khalayak ramai. Dalam periode singkat, sekitar 2-3 bulan, sosok seorang kandidat bisa dikemas menjadi sosok “satria piningit”, “superhero”, dan berbagai karakter lainnya. Bahkan kandidat dengan latar belakang suram pun, bisa muncul mengkilap dengan bantuan pencitraan.
Masyarakat tentunya, pada akhirnya akan menilai apakah upaya yang dilakukan para kandidat tersebut, murni datang dari hati nuraninya atau bagian dari pencitraan. Dari kacamata awam, tentunya bisa dilihat “bahasa tubuh” saat pejabat atau kandidat tersebut melakukan suatu kegiatan. Ada yang terlihat natural. Namun lebih banyak lagi, yang terkesan masih belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan harus berpeluh menerobos kerumunan massa di tempat-tempat umum, apalagi di tempat dengan standar kebersihan/keamanan yang kurang memadai.
Sore ini, saya membaca komentar di media online mengenai tindakan gubernur Jokowi yang naik Bajaj menghindari kejaran wartawan. Banyak yang menyambut positif, namun banyak juga yang berkomentar bahwa hal ini merupakan bagian dari pencitraan, sebagaimana kegiatan-kegiatan Jokowi sebelumnya. Saya jadi berfikir, seandainya memang apa yang Jokowi lakukan ini merupakan bagian dari pencitraan, saya bayangkan, besar sekali energi yang harus beliau keluarkan untuk upaya tersebut. Ibaratnya beliau (dan juga tim politik-nya) setiap hari harus memikirkan apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan liputan. Dan hebatnya, ternyata ide nyentrik sang gubernur tidak ada habisnya. Tidak mudah tentunya untuk memainkan peran seperti yang kerap dilakukan Jokowi, apabila bukan merupakan karakter aslinya.
Beberapa pejabat, bahkan pejabat tinggi sekalipun, menurut hemat saya, beberapa waktu lalu sempat meniru gaya “blusukan” Jokowi. Namun, ternyata tidak mempunyai energi yang besar, sehingga banyak yang tidak melanjutkan tindakan populisnya. Ada beberapa kemungkinan terkait hal ini; kehabisan ide, merasa kurang mendapat tanggapan positif dari media dan masyarakat, kehabisan dana politik atau kehabisan energi untuk melakukan pecitraan.
Mungkin, saat ini, masih banyak yang menyimpan energi pencitraannya dan akan mengeluarkannya pada saat menjelang kontes politik digelar. Kita lihat saja nanti, cerita-cerita menarik apa saja yang dilakukan para pesohor politik negeri ini di hari-hari mendatang. Yang pasti, selain konsultan politik, media pun pasti akan “kecipratan” rejeki demi mengangka citra para kandidat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H