Mohon tunggu...
Fahmi Malik
Fahmi Malik Mohon Tunggu... lainnya -

Saya lahir di kota Sukabumi, kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Bandung serta bekerja di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengukur Empati Petinggi Negeri

3 Oktober 2013   10:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:04 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lazim tentunya, bagi para politisi di berbagai penjuru dunia melakukan upaya pencitraan menjelang pelaksanaan pemilu. Berbagai cara dan upaya dilakukan oleh para pelaku politik untuk memperkenalkan dirinya, baik melalui berbagai pernyataan yang menunjukkan visi maupun sekedar tampil dalam berbagai kegiatan untuk diketahui keberadaannya.

Seiring dengan semakin dekatnya tahun politik negeri ini, upaya pencitraan juga semakin kerap ditampilkan. Dari mulai tampil di acara popular (musik, talkshow sitcom, kontes kecantikan), mengunjungi kalangan miskin, membagi-bagi sembako, menyumbang pembangunan tempat ibadah, ikut aksi sosial, membela kaum buruh/TKI atau dengan pernyataan-pernyataan pro rakyat yang semuanya ditujukan untuk pencitraan positif dengan dukungan media.

Semua upaya pencitraan tersebut, pada akhirnya akan bermuara pada penciptaan sosok politisi yang dekat dengan rakyat, mengetahui kondisi sosial ekonomi di masyarakat dan tentunya bisa diandalkan untuk senantiasa membela kepentingan rakyat.

Fenomena Jokowi dengan blusukan-nya, semakin mendorong banyak politisi untuk menunjukan empati-nya pada masyarakat. Semakin sering kita temui, politisi yang diberitakan mengunjungi korban bencana, korban kecelakaan, maupun korban musibah lainnya semata-mata untuk menunjukkan empati-nya pada rakyat kecil. Semakin dramatis kondisi korban yang dikunjungi, maka akan semakin tinggi peningkatan citra-nya di kalangan masyarakat. Contoh paling mudah akan terlihat pada musim banjir mendatang, saat bendera parpol berkibar untuk menolong korban bencana.

Kata empati menurut KBBI adalah keadaan mental yang membuat seseorang mengidentifikasi atau merasa dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Sedangkan Eileen R. dan Sylvina S. (Kompas, 18 Nop 2006) , menjelaskan bahwa empati adalah kegiatan berpikir individu mengenai “rasa” yang dia hasilkan ketika berhubungan dengan orang lain.

Menurut hemat saya, tingkat empati tidak bisa diraih hanya dengan melihat, membaca atau menonton program sosial kemasyarakatan semata. Namun juga harus dirasakan langsung dengan melakukan hal-hal tertentu, atau dengan ungkapan klasik “memakai sepatu orang lain”. Empati juga sulit didapat dalam waktu pendek, sehingga perlu terus diasah.

Aksi empati untuk pencitraan niscaya tidak akan memberikan dampak apapun pada kebijakan yang kelak akan dikeluarkan. Empati bisa berdampak pada kebijakan apabila memang benar-benar dirasakan oleh para pembuat kebijakan. Kebijakan penanganan transportasi yang tepat sasaran tidak akan bisa ditetapkan oleh pejabat yang tidak pernah merasakan kemacetan, antrian panjang atau kepanasan dalam angkutan umum.

Saya punya penilaian bahwa sebagian besar kandidat calon presiden/wapres yang mulai bermunculan namanya belakangan ini, tidak pernah naik angkutan umum dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini. Tentunya, yang saya maksud bukan naik angkutan umum dalam rangka dinas ataupun sidak, namun naik angkutan umum untuk keperluan sehari-hari, seperti untuk ke kantor atau keperluan pribadi lainnya.

Bagi saya sangat penting untuk para kandidat calon petinggi negeri untuk berpergian dengan angkutan umum, sehingga bisa merasakan; semakin tingginya tensi amarah di jalan, semakin tidak nyamannya berada dalam angkutan umum di Jakarta, semakin tingginya denyut jantung akibat aksi ugal-ugalan pengemudi, semakin mudahnya aturan lalu lintas untuk dilanggar dlsb.

Saya membayangkan, pemimpin negeri ini dapat pergi sendiri (atau maksimal ditemani satu ajudan) dengan melepas atribut pejabat/tokoh publik, naik ojek dari komplek rumahnya, kemudian naik moda angkutan umum seperti angkot/metromini/ bajaj/busway. Setidaknya harus juga merasakan antrian panjang busway di dukuh atas atau harmoni. Selain itu, perlu juga diselingi dengan makan di warteg, warung pecel lele atau restoran padang di pinggir jalan. Kebayangkan khan, gimana saat makanan tersaji, belum tentu bisa masuk ke tenggorokan karena terpikir kualitas bahan, proses pembuatan makanan dan aspek hygienist lainnya yang kurang memadai.

Kesempatan ini juga bisa digunakan untuk berbicara langsung dengan masyarakat. Tentunya bahasa dan informasi yang diberikan masyarakat akan berbeda, apabila mereka bicara dengan seseorang yang masih memakai baju “pejabat” meskipun dalam kerangka sidak/operasi pasar/blusukan dan sejenisnya. Berbicara dengan “man on the street” akan semakin efektif apabila lawan bicara merasa nyaman dan “sederajat”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun