Penyebutan Pekerja Rumah Tangga bagi Pembantu Rumah Tangga tidak hanya sekadar perubahan penyebutan belaka, tetapi perubahan substansi. Pembantu dan pekerja jelas berbeda, Pembantu adalah orang yang membantu sehingga tidak mendapatkan perlindungan serta hak-hak yang diperoleh pekerja, sedangkan pekerja adalah orang yang memperoleh perlindungan serta hak-hak ketenagakerjaan.
Selama ini orang yang melakukan pekerjaan rumah orang lain dianggap hanya membantu bukan bekerja sehingga penyebutan pembantu bagi Pekerja Rumah Tangga seolah pas. Pekerjaan rumah tangga tidak dihargai secara sosial maupun ekonomi, tidak diakui sebagai skill, tidak berbayar, dan tidak diperhitungkan sebagai pekerjaan penting. Ketika jenis-jenis pekerjaan ini dikerjakan oleh tenaga orang lain maka pekerjanya hanya dianggap sebatas membantu. Dari situ lahir istilah "pembantu rumah tangga" dari yang seharusnya diakui sebagai "pekerja rumah tangga" (Misiyah, 2020).
Pekerja Rumah Tangga (PRT) seringkali dianggap sebagai pembantu yang dapat dibayar sesuai dengan keinginan orang yang dibantunya. Pekerjaan mengasuh anak, mencuci, memasak, dan bersih-bersih rumah dianggap bukan sebagai pekerjaan yang membutuhkan keterampilan, tetapi dianggap sebagai pekerjaan alamiah perempuan. Budaya patriaki membentuk pola pikir manusia yang menganggap pekerjaan domestik adalah kewajiban seorang perempuan, padahal pekerjaan domestik adalah pekerjaan bersama antara laki-laki dan perempuan. Hal ini kemudian membentuk pandangan masyarakat bahwa PRT adalah perempuan.Â
Ada, 4,2 juta jumlah Pekerja Rumah Tangga di Indonesia, yang 75,5 persen di antaranya adalah perempuan dan 25 persen-nya adalah anak-anak (Jaleswari Pramodhawardani, 2022).
PRT pada umumnya adalah perempuan dan anak anak sehingga PRT rentan mendapatkan berbagai bentuk kekerasan (psikis, seksual, fisik, dan ekonomi), hal ini disebabkan adanya relasi kuasa dan ketimpangan kelas. Perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah adalah buah dari budaya patriaki yang menempatkan superioritas bagi laki-laki. Ketidak-berdayaan PRT juga disebabkan karena tidak adanya faktor pendukung yang menjamin kebebasan dan hak-hak PRT.
Banyaknya kasus kekerasan terhadap PRT yang dilakukan oleh majikan membuat kita melihat bagaimana tidak adanya perlindungan bagi PRT, hal ini disebabkan kekosongan hukum tentang perlindungan PRT. Tidak adanya regulasi membuat para PRT tidak mendapatkan hak-haknya secara penuh.Â
Permenaker No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga tidak mengatur secara penuh terkait perlindungan pekerja. Oleh sebab itu, perlu adanya hukum yang mengatur secara komprehensif antara pekerja, pemberi kerja, dan penyalur PRT. Pemerintah seharusnya dengan cepat mengesahkan Undang-Undang tentang Pekerja Rumah Tangga yang telah lebih dari 19 tahun hanya menjadi rancangan sebagai wujud komitmen negara terkait perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H