Mohon tunggu...
Muhammad Afif Al Fahmi Asri
Muhammad Afif Al Fahmi Asri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Studying at Universitas Negeri Padang | Indonesian Language and Literature Education | Junior Graphic Designer | Blogger | Poetry Writing Enthusiast

Saya adalah Muhammad Afif Al Fahmi Asri, mahasiswa aktif di Universitas Negeri Padang jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebagai individu yang terus berkembang, saya berfokus pada eksplorasi bidang sastra, desain grafis, dan penulisan kreatif, khususnya puisi. Ketertarikan saya pada seni dan sastra telah membawa saya untuk berkontribusi dalam berbagai proyek, mulai dari blogging, merancang media pembelajaran berbasis teknologi untuk materi cerpen, hingga menerbitkan antologi puisi berjudul Menghitung Sisa Hari. Pengalaman saya meliputi peran sebagai desainer grafis junior, blogger, dan peserta dalam program Kampus Mengajar, di mana saya dipercaya menjadi ketua kelompok. Saya juga telah berkompetisi dalam berbagai lomba sastra tingkat nasional dan internasional. Tak hanya itu, sejak SMA, saya juga aktif berkompetisi dalam olimpiade-olimpiade tingkat nasional. Dengan semangat terus belajar dan berbagi, saya berharap dapat memberi dampak positif di bidang sastra, pendidikan, dan desain.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Sebentar Ala Indonesia

10 Desember 2024   09:51 Diperbarui: 10 Desember 2024   10:35 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak laki-laki Muslim Asia berdiri sambil mengarahkan jam tangannya dengan serius (Sumber: iStock)

Indonesia punya budaya unik soal waktu, terutama dalam penggunaan istilah "sebentar." Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), artinya sederhana: "waktu yang singkat" atau "tidak lama." Namun, dalam kehidupan sehari-hari, kata ini telah berkembang melampaui makna aslinya. “Sebentar” di Indonesia tak jarang menjadi begitu lentur hingga hampir kehilangan arti aslinya.

Bayangkan sebuah karet gelang yang bisa ditarik sepanjang mungkin, itulah ilustrasi "sebentar" di Indonesia. Bagi seorang pedagang, “sebentar” mungkin benar-benar hanya lima menit. Namun, bagi mahasiswa yang buru-buru ke kampus, bisa saja “sebentar” menjadi setengah jam. Bahkan, “sebentar” bisa berarti dua jam atau lebih saat kita menunggu teman yang terjebak macet. Fleksibilitas ini seperti menciptakan dimensi waktu versi Indonesia sendiri yang hanya kita pahami.

Siapa yang tidak akrab dengan ungkapan “Otw, bentar lagi sampai!”? Kalimat ini sudah seperti mantra, sering diucapkan dengan santai, padahal pengucapnya mungkin masih di rumah, sibuk mencari kaus kaki atau masih nyaman berselimut. Ungkapan ini kerap jadi bahan meme atau candaan di media sosial, katanya, kalau ada yang bilang "sebentar," siap-siap menunggu hingga kiamat.

Dalam kehidupan sosial sehari-hari, kebiasaan "sebentar" ini bisa menciptakan situasi yang rumit. Janji bertemu dengan teman sering kali molor, acara kumpul keluarga jadi tertunda, dan rencana bersama pun kerap berantakan. "Sebentar" yang sebenarnya bermakna sesaat bisa berubah menjadi berjam-jam, dan pada akhirnya, ada saja yang merasa kecewa atau kesal.

Sebagai bangsa yang katanya menjunjung kemanusiaan, ini saatnya kita bertanya: kalau "sebentar" sering jadi alasan untuk menunda atau tidak disiplin, apa dampaknya bagi diri kita dan bangsa? Bagaimana kita bisa membangun masa depan yang lebih baik jika kita sendiri masih terlalu santai dengan waktu?

Mengubah kebiasaan memang tidak mudah, tapi semua bisa dimulai dari diri sendiri. Setiap kali kita mengucapkan "sebentar," ada baiknya kita ingat bahwa ini membawa konsekuensi pada waktu dan kepercayaan orang lain. Di zaman serba cepat ini, ketepatan waktu bukan lagi hanya nilai tambah, ini merupakan kebutuhan mendasar.

Jika waktu adalah emas, maka “sebentar” ala Indonesia mungkin adalah proses penambangan yang tak kunjung selesai. Mungkin sudah waktunya kita mulai mengembalikan definisi "sebentar" ke makna aslinya dalam KBBI. Bukan sekadar demi produktivitas atau efisiensi, tetapi lebih dari itu: demi menghargai kemanusiaan kita sendiri dan orang lain. Karena pada akhirnya, waktu adalah satu-satunya sumber daya yang benar-benar demokratis, kita semua memiliki 24 jam yang sama setiap harinya. Yang membedakan adalah bagaimana kita menghargai dan memanfaatkannya.

Saatnya kita menyadari bahwa ketepatan waktu berpengaruh besar dalam hidup kita. Menghargai waktu orang lain berarti kita juga menghargai diri kita sendiri. Jika kita bisa mengubah persepsi tentang "sebentar," kita akan menemukan makna sebenarnya dari waktu dan kepercayaan.

Mungkin perubahan ini tidak bisa terjadi sekarang. Mungkin butuh waktu. Mungkin... sebentar lagi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun